BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pantai selatan Jawa Barat
terdapat lokasi penting bagi perikanan tangkap yaitu Palabuhanratu. Pelabuhan
Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu yang berada di kota Palabuhanratu di
Teluk Palabuhanratu menghadap ke Samudera Indonesia dipandang sangat strategis
karena berada pada posisi dekat dengan daerah penangkapan (fishing ground), yakni Perairan Samudera Indonesia. Potensi
sumberdaya ikan di Samudera Indonesia untuk Selatan Jawa dimana Pelabuhan
Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu berada cukup besar.
Salah satu alat tangkap yang
banyak terkonsentrasi di teluk palabuhanratu adalah bagan apung. Menurut Hasan
(2008), bagan merupakan salah satu jenis alat tangkap yang menggunakan alat
bantu lampu. Nelayan Palabuhanratu menggunakan bagan sebagai alat tangkap untuk
menangkap ikan. Dalam proses penangkapan ikan dengan bagan, atraktor cahaya
yang digunakan bertujuan mengumpulkan ikan yang mempunyai fototaksis positif.
Ikan yang bersifat fototaksis positif akan berkumpul di daerah cahaya lampu
sehingga memudahkan nelayan dalam melakukan upaya penangkapan.
Alat tangkap tersebut
menghasilkan tangkapan ikan pelagis ekonomis penting. Kemudahan dalam hal
pembuatan serta harga yang masih terjangkau membuat alat tangkap ini memiliki
perkembangan yang cukup besar. Hal ini karena biaya pengoperasian bermodal
perbekalan makan dan minum serta bahan bakar untuk genset secukupnya dan tanpa
memperhitungkan hasil tangkapan yang akan didapat. Mereka belum
mempertimbangkan hal-hal kecil yang dapat mempengaruhi hasil tangkapan, seperti
intensitas cahaya, luas waring, ukuran mata waring, jumlah lampu, kekuatan
genset, lama operasi dan tenaga kerja. Pemakaian tentang pengaruh faktor
produksi terhadap hasil tangkapan harus dipahami untuk meningkatkan hasil
tangkapan.
Unit penangkapan ikan yang
dioperasikan oleh nelayan di PPN Palabuhanratu memiliki keanekaragaman.
Keberagaman alat tangkap tersebut sesuai dengan jenis ikan yang menjadi target
penangkapan, daerah penangkapan dan teknologi penangkapan ikan. Alat tangkap
ikan yang terdapat di Palabuhanratu secara umum masih bersifat tradisional. Hal
ini terlihat dari teknologi dalam metode penangkapannya dan karakteristik
(dimensi dan desain) alat tangkap tersebut (Tadjuddah 2009).
Pemanfaatan sumberdaya ikan
memerlukan informasi yang tepat. Ketersediaan informasi mengenai sumberdaya
ikan tersebut sangat penting peranannya dalam pembangunan sektor perikanan,
khususnya dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap.
Informasi mengenai ketersediaan sumberdaya ikan pada suatu perairan memerlukan
data yang dapat memberikan hasil yang lebih akurat, sehingga informasi tersebut
dapat memberikan gambaran mengenai keberadaan sumberdaya ikan yang mendekati
keadaan yang sebenarnya (Elson 2012).
Menurut Nasution (2004),
karakteristik suatu perairan dapat dijadikan sebagai acuan dalam menentukan
daerah penangkapan ikan dan migrasi ikan yaitu;
1.
Daerah tersebut harus memiliki
kondisi dimana ikan dengan mudah datang secara berkelompok dan baik untuk
dijadikan tempat untuk mencari makan, dan untuk pemijahan ikan tersebut.
2. Daerah
tersebut harus bisa mengoperasikan alat tangkap yang sesuai.
3.
Daerah tersebut harus bertempat
di lokasi yang bernilai ekonomis dan mudah untuk di jangkaui.
Keberadaan daerah ikan di
perairan bersifat dinamis, selalu berubah atau berpindah mengikuti pergerakan
kondisi lingkungan, yang secara alamiah ikan akan memilih habitat yang lebih
sesuai. Sedangkan habitat tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi atau
parameter oseanografi perairan seperti suhu permukaan laut, salinitas,
konsentrasi klorofil-a, cuaca dan sebagainya (Girsang 2008).
Parameter-parameter oseanografi
yang ada di laut dapat diperoleh dengan cara pengukuran langsung, survey
lapangan atau dengan menggunakan citra satelit penginderaan jauh. Parameter
tersebut dapat digunakan ketika satelit melewati perairan Indonesia, informasi
daerah yang diduga terdapat ikan yang dapat diketahui. Informasi tersebut dapat
digunakan oleh nelayan dalam kegiatan penangkapan ikan, sehingga penangkapan
ikan menjadi lebih efesien dan efektif apabila daerah penangkapan (fishing ground) gerombolan ikan dapat
diduga terlebih dahulu sebelum berangkat ke laut untuk menangkap ikan (Polovina
et al. 2001; Zainuddin et al. 2006).
1.2 Tujuan Pratikum
Tujuan dari pratikum pada tanggal 20-22 April di
Teluk Palabuhanratu adalah:
1. Menentukan
penyebaran SPL dan klorofil-a di perairan Palabuhanratu;
2.
Menentukan komposisi hasil
tangkapan ikan tembang dengan alat tangkap Bagan perahu di perairan Teluk
Palabuhanratu;
3.
Menganalisis hubungan SPL dan
klorofil-a terhadap hasil tangkapan ikan Tembang di perairan Palabuhanratu;
4.
Memprediksi daerah potensial
penangkapan ikan tembang di perairan Palabuhanratu;
II METODE PRATIKUM
2.1 Waktu dan Lokasi Pratikum
Pratikum ini dilaksanakan dalam
dua tahap, yaitu: tahap pertama pengumpulan data hasil tangkapan ikan tembang
dari Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, download citra SPL dan klorofil-a dari satelit Aqua MODIS. Tahap
kedua pengolahan data citra satelit Aqua MODIS untuk mendapatkan informasi
parameter oseanografi berupa SPL dan klorofil-a di Teluk Palabuhanratu.
Untuk pratikum ini dilaksanakan
pada tanggal 20 sampai 22 April 2018 di perairan Palabuhanratu. Pengambilan
data hasil penangkapan ikan diambil pada sentral perikanan tangkap perairan
Palabuhanratu (PPN Palabuhanratu). Pengumpulan data lapangan pada tanggal 20
sampai 22 April 2018, download citra
SPL dan klorofil-a dari satelit MODIS, serta melakukan pengolahan dan analisis
citra satelit MODIS. Adapun peta lokasi penelitian dapat dilihat pada (Gambar
1).
Gambar 1 Peta lokasi pratikum di Perairan
Palabuhanratu (googleearth.com).
2.2 Alat dan Bahan
Tabel 1 Peralatan dan bahan yang digunakan dalam pratikum ini adalah;
No
|
Alat/Bahan
|
Keterangan
|
|||||
1
|
GPS
|
Digunakan
|
untuk
|
mengetahui
|
posisi
|
koordinat
daerah
|
|
penagkapan ikan
saat pengoperasian alat tangkap.
|
|||||||
2
|
Alat
tulis
|
Digunakan
untuk mencatat data yang dibutuhkan.
|
|||||
3
|
Meteran
|
Digunakan
untuk pengukuran panjang ikan layang.
|
|||||
4
|
Lembaran
|
Digunakan
sebagai tempat pencatatan data yang dibutuhkan
|
|||||
kuesioner
|
|||||||
5
|
Kamera
|
Digunakan
|
untuk
|
mengambil
|
gambar
|
yang dibutuhkan
|
|
seperti:gambar
ikan Layang, kapal, alat tangkap, dan lain-lain.
|
|||||||
Personal
|
Software yang
digunakan adalah
|
Microsoft word, Microsoft
|
|||||
6
|
Exceluntuk menghitung CPUE (Catch per unit effort), SeaDAS
|
||||||
komputer
|
|||||||
7.3untuk
membaca nilai suhu permukaan laut dan klorofil-a.
|
|||||||
2.3 Metode Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dengan metode
survei lapangan, yaitu melakukan pengamatan terhadap armada atau unit
penangkapan ikan Tembang. Data yang digunakan terdiri atas data primer dan
sekunder. Metode survey digunakan untuk pengumpulan data primer tentang posisi
penangkapan, waktu operasi. Data primer juga diperoleh melalui wawancara dan
pengisian kuisioner terhadap responden yang ditetapkan secara purposive
sampling, yaitu terhadap juru mudi kapal (nahkoda) bagan apung.
2.4 Posisi dan Waktu Penangkapan Serta Hasil
Tangkapan
Data hasil tangkapan yang
diperoleh melalui kegiatan penangkapan ikan Tembang di peraira Teluk
Palabuhanratu. Data yang dikumpulkan dari penangkapan ikan adalah:
1. Posisi
kapal (koordinat) pada saat melakukan operasi penangkapan.
2. Waktu
operasi penangkapan.
3. Komposisi
jumlah hasil tangkapan.
2.5 Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a
Data sebaran suhu permukaan laut
dan klorofil-a di perairan Palabuhanratu merupakan data sekunder yang diperoleh
melalui cara men-download hasil citra
suhu permukaan laut dan klorofil-a yang telah tersedia di internet. Data
diperoleh melalui situs http://oceancolor.gsfc.nasa.gov. Data yang dipilih merupakan data
bulanan sebaran suhu permukaan laut dan klorofil-a, citra ini pilih karena pada
penampilan sudah jelas dan bagus dalam bentuk format JPEG.
Data sekunder lain yang
dikumpulkan adalah kondisi umum perikanan di lokasi penelitian seperti data
produksi ikan tahunan, nilai produksi tahunan hasil tangkapan, dan unit
penangkapan. Data tersebut diperoleh dari DINAS perikanan setempat (PPN)
Palabuhanratu, instansi terkait lainnya dan studi literatur.
2.6 Analisis Data
2.6.1Analisis hasil tangkapan
Hasil tangkapan yang diperoleh
dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Hasil
tangkapan yang diperoleh dari masing-masing bagan apung selama pratikum
digabung untuk mengetahui komposisi hasil tangkapan (jumlah hasil tangkapan)
berdasarkan hasil tangkapan yang di lakukan bongkar muat di dermaga PPN
Palabuhanratu.
2.6.2 Analisis Citra Sateli SeaDas
Data sebaran klorofil-a dan suhu permukaan laut (SPL) diketahui dari citra satelit MODIS yang telah terkoreksi dan ditampilkan dalam bentuk format gambar (JPEG). Konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut pada daerah penangkapan ikan pada saat trip operasi penangkapan dapat dihitung dengan menggunakan software SeaDas 7.3. Citra klorofil-a dan suhu permukaan laut kemudian diolah untuk mendapat konsentrasi berdasarkan posisi penangkapan yaitu di perairan Teluk Palabuhanratu. Untuk memperbaiki tampilan citra terdapat beberapa program atau fungsi dalam proyeksi analisis pada citra satelit (SeaDas).
Citra yang telah diolah kemudian dikeluarkan nilai konsentrasinya berdasarkan tiap-tiap plot (kotak) posisi penangkapan. Program yang digunakan output data function yang digunakan untuk memberi keluaran berupa data ASCII dan kemudian diambil nilai klorofil-a dan suhu permukaan laut untuk setiap posisi daerah penangkapan (fishing ground).
2.6.3 Penentuan Daerah Potensial Penangkapan Ikan
Tembang
Dalam menentukan daerah
penangkapan ikan tembang potensial dapat ditentukan dengan mengetahui informasi
terhadap indikator-indikator yang mempengaruhi suatu daerah penangkapan ikan
potensial. Indikator-indikator daerah penangkapan ikan tembang potensial adalah
jumlah hasil tangkapan ikan tembang, sebaran SPL dan sebaran klorofil-a di
suatu daerah penangkapan. Masing-masing indikator tersebut dievaluasi secara
parsial dan diberi nilai (score), kemudian hasil evaluasi tersebut dapat
digunakan untuk menentukan daerah penangkapan ikan potensial tembang di
perairan Teluk Palabuhanratu.
1. Hasil Tangkapan Ikan Tembang
Penentuan daerah potensial
penangkapan ikan tembang berdasarkan indikator hasil tangkapan ikan tembang
dapat diperoleh dengan membandingkan nilai rata-rata CPUE dari setiap daerah penangkapan ikan dengan nilai rata-rata CPUE selama 4 bulan, yakni bulan Januari
sampai April 2018.
Setelah dilakukan perbandingan nilai rata-rata CPUE dari setiap daerah penangkapan
ikan, selanjutnya dapat ditentukan daerah penangkapan ikan tembang yang
termasuk ke dalam daerah penangkapan ikan yang potensial, sedang potensial,
atau kurang potensial (Tabel 2). Tabel 2 Penilaian jumlah hasil tangkapan.
Jumlah hasil tangkapan (Kg)
|
Penilaian
|
≤ 400 Kg
|
Sedikit
|
400 Kg ≤ HT < 800 Kg
|
Sedang
|
≥ 800 Kg
|
Banyak
|
Sumber:
Fuadi et al. (2016).
|
2. Suhu permukaan laut (SPL)
Penentuan suatu daerah
penangkapan ikan tembang potensial berdasarkan indikator SPL dapat dilakukan
dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
a.
Menganalisis hubungan SPL terhadap hasil tangkapan
Suhu permukaan laut dapat
berpengaruh terhadap penyebaran atau keberadaan ikan tembang di suatu perairan.
Menurut Baskoro et al. (2004), suhu
dapat mempengaruhi penyebaran keberadaan ikan, dikarenakan (1) sebagai pengatur
proses metabolisme dalam tubuh (dapat mempengaruhi permintaan kebutuhan makanan
dan tingkat penerimaan serta tingkat pertumbuhan), (2) sebagai pengatur
aktivitas pergerakan tubuh (kecepatan renang), dan (3) sebagai stimulus syaraf.
Hubungan SPL terhadap hasil
tangkapan ikan tembang dapat digunakan sebagai indikator untuk mengetahui
keberadaan ikan tembang di perairan, apabila SPL berpengaruh nyata terhadap
hasil tangkapan. Jika hal tersebut terpenuhi, maka langkah selanjutnya mencari
SPL yang optimum untuk penangkapan ikan tembang. Sebaliknya jika SPL tidak
berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan maka SPL kurang tepat dijadikan
sebagai indikator daerah penangkapan ikan potensial.
b.
Menentukan SPL optimum
Penentuan SPL optimum untuk ikan
tembang dapat dilakukan dengan menggunakan penyajian diagram pencar. Penyajian
diagram pencar yang dimaksudkan untuk melihat sebaran SPL optimum terhadap CPUE ikan tembang di setiap daerah
penangkapan ikan. Setelah memperoleh SPL optimum di setiap daerah penangkapan
ikan tembang, SPL optimum di-overlay
terhadap peta tematik daerah penangkapan ikan tembang.
3. Klorofil-a
Penentuan suatu daerah potensial
penangkapan ikan tembang berdasarkan indikator klorofil-a dapat dilakukan
dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
a.
Menganalisis hubungan klorofil-a
terhadap hasil tangkapan ikan tembang. Klorofil-a juga dapat digunakan untuk
menentukan tingkat kesuburan
perairan yang sangat mempengaruhi kehidupan biota
di suatu perairan. Nilai klorofil-a optimum dapat berpengaruh secara signifikan
terhadap hasil tangkapan ikan tembang. Hal ini terbukti dari hasil penelitian
yang dilakukan oleh Muklis (2008). Muklis menyatakan bahwa meningkatnya
konsentrasi klorofil-a di suatu perairan berpengaruh dan terdapat hasil tangkapan
yang meningkat, begitu sebaliknya penurunan konsentrasi klorofil-a berpengaruh
terdapat hasil tangkapan ikan yang menurun.
b.
Menentukan konsentrasi klorofil-a optimum
Penentuan konsentrasi klorofil-a optimum untuk ikan
tembang dapat dilakukan dengan menggunakan penyajian diagram pencar. Penyajian
diagram pencar dimaksudkan untuk melihat sebaran klorofil-a optimum terhadap CPUE ikan tembang di setiap daerah
penangkapan ikan. Setelah memperoleh sebaran klorofil-a optimum di setiap
daerah penangkapan ikan tembang, selanjutnya klorofil-a optimum di-overlay terhadap peta tematik daerah
penangkapan ikan tembang. Klasifikasi konsentrasi klorofil-a dapat dilihat pada
(Tabel 3). Tabel 3 Klasifikasi konsentrasi klorofil-a.
No
|
Kategori
|
Nilai Klorofil-a
|
1
|
Rendah
|
< 0,3 mg/m3
|
2
|
Sedang
|
0,31 – 1
mg/m3
|
3
|
Tinggi
|
> 1 mg/m3
|
Langkah terakhir untuk dapat
menentukan daerah potensial penangkapan ikan tembang adalah dengan
mengelompokkan nilai bobot (scoring)
gabungan yang ditentukan melalui penjumlahan nilai bobot dari keempat indikator
di atas. Kategori pengelompokan nilai bobot gabungan dari keempat indikator
kemudian dibagi menjadi tiga (Silvia 2009) yaitu:
§ Jika nilai bobot gabungan berada pada kisaran tertinggi, DPI tersebut
dikategorikan sebagai DPI potensial dan diberi bobot 6;
§ Jika nilai bobot gabungan berada pada kisaran menengah, DPI tersebut
dikategorikan sebagai DPI sedang potensial dan diberi bobot 4;
§ Jika nilai bobot gabungan berada pada kisaran terendah, DPI tersebut
dikategorikan sebagai DPI kurang potensial dan diberi bobot 2.
Wilayah perairan yang mempunyai
jumlah indikator tertinggi akan dikategorikan wilayah daerah penangkapan ikan
potensial, dan apabila wilayah tersebut mendapatkan nilai indikator paling
sedikit makan daerah tersebut dikatakan daerah penangkapan ikan tidak
potensial. Selanjutnya, dari semua kategori tersebut dapat menghasilkan peta
daerah potensial penangkapan ikan tembang di perairan Teluk Palabuhanratu.
BAB III
HASIL DAN
PEMBAHASAN
3.1 Hasil tangkapan ikan Tembang
Jumlah hasil tangkapan ikan
Tembang pada bulan Januari sampai bulan Maret 2018 mencapai 3.200 kg. Hasil
tangkapan pada bulan April lebih sedikit yaitu; sebesar 200 kg dengan CPUE (Catch per unit effort) sebesar 20 kg/trip jika dibandingkan dengan
bulan Januari sebesar 1.305 kg dengan CPUE
sebesar 193 kg/trip, di karenakan cuaca pada bulan April terjadi arus kencang
sehingga pada saat alat tangkap bagan apung di hauling alat tangkap tersebut
tidak effektif (Gambar 3.1). Kecepatan arus permukaan lebih besar 0,34 m/detik,
nelayan bagan tidak menurunkan waring (Sudirman 2003). Sehingga arus merupakan
salah satu pembatas dalam mengoperasikan bagan (Rosdianto 2015).
Dalam pemanfaatan sumber daya
ikan salah satu faktor yang harus diketahui adalah parameter oseanografi
misalnya arus karena arus mempunyai peranan penting terhadap sistem ekologi
laut (Martono 2008 dalam Tulungan et al.
2012) dan merupakan parameter yang banyak mendapat perhatian (Tulungen et al. 2012). Keberadaan ikan di fishing ground dan distribusi ikan
(Baskoro et al. 2004).
Gambar 3.1 Jumlah hasil tangkapan
dan CPUE dari bulan Januari sampai April 2018.
Produksi ikan Tembang di perairan
Teluk Palabuhanratu pada 2017 dari bulan Januari sampai bulan Desember
berfluktuasi dari setiap bulannya. Produksi terbanyak berada pada bulan
September dan Oktober 2017, yaitu 124.858 kg dan 117.766 kg, sedangkan produksi
terendah yaitu dan pada bulan Januari sebanyak 1.865 kg (Gambar 3.2).
Gambar
3.2 Jumlah Produksi hasil tangkapan pada tahun 2017.
3.2 Kandungan Klorofil-a di Perairan Teluk Palabuhanratu
Penyebaran kandungan klorofil-a
menurut waktu dan lokasi pengamatan di perairan Teluk Palabuhanratu sebaran
spasial kandungan klorofil-a dapat dilihat bahwa pada (Gambar 3.3) konsentrasi
klorofil-a pada lokasi penangkapan ikan bagan apung pada saat pratikum
berkisar dari 0.891 mg/m3 sampai 0.956 mg/m3. Citra pada gambar terlihat bahwa semakin mendekati pantai kandungan
klorofil-a cenderung semakin tinggi nilai klorofilnya.
Gambar
3.3 Sebaran Klorofil-a 22 April 2018.
Citra sebaran konsentrasi
klorofil-a pada tahun 2018 (bulan Januari, Februari dan Maret), pada bulan
Januari menunjukkan konsentrasi klorofil-a bervariasi di Perairan Palabuhanratu
yang berkisar antara 0,157-0,261 mg/m3. Konsentrasi klorofil-a paling besar terdapat pada bulan Januari
sebesar 0.261 mg/m3 dengan hasil tangkapan sebesar 1.305 Kg, sedangkan konsentrasi terendah
terdapat pada bulan bulan Februari dengan jumlah hasil tangkapan ikan Tembang
sebesar 785 Kg (Gambar 3.4 dan Gambar 3.5).
Gambar
3.4 Peta Sebaran Klorofil-a Januari 2018.
Gambar
3.5 Peta Sebaran klorofil-a pada bulan Februari dan Maret 2018.
Konsentrasi klorofil-a pada tahun
2017 di perairan Teluk Palabuhanratu dari bulan Januari sampai bulan Desember
2017 sangat bervariasi. Citra MODIS nilai konsentrasi klorofil-a pada tahun
2017 berkisar antara 0,163 mg/m3 sampai dengan 0,473 mg/m3 dengan rata-rata 0,265 mg/m3. Nilai konsentrasi klorofil-a paling tinggi terdapat pada bulan
September sebanyak 0,473 mg/m3 dengan jumlah hasil tangkapan sebanyak 124.858 kg dan nilai konsentrasi
klorofil-a paling rendah terdapat pada bulan November berjumlah 0,163 mg/m3 dengan hasil tangkapan ikan
tembang sebanyak 23.560 Kg (Gambar 3.6 dan Gambar 3.7).
Gambar
3.6 Peta Sebaran nilai klorofil-a tahun 2017.
Gambar
3.7 Peta sebaran nilai klorofil-a tahun 2017.
3.3 Hubungan Klorofil-a dengan Hasil Tangkapan
Pada Grafik dibawah terlihat
bahwa semakin tinggi konsentrasi klorofil-a maka hasil tangkapan ikan Tembang
juga meningkat, hal ini membuktikan bahwa Fitoplankton memegang peranan penting
sebagai produsen di laut dalam proses rantai makanan.
Konsentrasi klorofil-a >0.2
mg/m3 telah menunjukan kehadiran dari fitoplankton yang memadai untuk
mempertahankan rantai makanan dan kelangsungan perkembangbiakan ikan (Gower
1972). Keberadaan fitoplankton menjadi penompang kehidupan sumberdaya hayati di
laut. Peningkatan kelimpahan fitoplankton juga akan meningkat kelimpahan zooplankton
dan selanjutnya diharapkan kelimpahan ikan pelagis kecil dan besar juga akan
meningkat.
Hasil tangkapan ikan Tembang
paling tertangkap pada bulan September dengan kandungan konsentrasi klorofil-a
0.473 mg/m3 dengan hasil tangkapan sebesar 124.858 kg dapat dilihat pada (Gambar
3.8).
Menurut Putra et al. (2012), ikan tembang merupakan
ikan pelagis yang keberadaannya bergantung pada konsentrasi klorofil-a.
Kenaikan konsentrasi klorofil-a akan diiringi dengan kenaikan nilai CPUE.
Naiknya nilai konsentrasi klorofil-a tidak langsung berdampak pada naiknya
nilai CPUE, tetapi membutuhkan beberapa waktu sehingga klorofil yang telah ada
dimanfaatkan oleh zooplankton sebagai sumber makanan. Terdapat rentang waktu
sekitar satu sampai dua bulan antara mulai naiknya nilai CPUE ikan tembang
dengan klorofil- a maksimum di perairan Laut Jawa. Konsentrasi
Klorofil-a mencapai puncaknya pada musim barat sedangkan kenaikan nilai CPUE
baru terjadi pada musim peralihan 1.
Gambar
3.8 Grafik Hubungan Klorofil-a dengan hasil tangkapan.
3.4 Suhu Permukaan Laut (SPL)
Sebaran suhu permukaan laut di
perairan Teluk Palabuhanratu yang didapat melalui pengolahan citra dengan
menggunakan software SeaDas
(Aqua/Terra MODIS) pada tahun 2017 menghasilkan gambar citra suhu permukaan
laut secara jelas yang berbeda pada setiap kisaran suhu yang berbeda, dari
keseluruhan citra suhu permukaan laut yang diperoleh, terlihat bahwa SPL pada
bulan Januari sampai bulan Desember sangat bervariasi mulai dari suhu yang
terendah 2°C hingga yang tertinggi yaitu 30°C pada (Gambar 3.9)
Kisaran suhu permukaan laut pada
citra satelit daerah perairan Teluk Palabuhanratu menunjukkan nilai konsentrasi
suhu permukaan laut (SPL) paling tinggi terjadi pada bulan Oktober sebanyak
29.246°C dengan jumlah hasil tangkapan sebanyak 117.766 kg dan nilai
konsentrasi SPL paling rendah terdapat pada bulan Agustus sebesar 26.563°C dengan jumlah hasil tangkapan
ikan Termbang sebanyak 86.015 Kg dapat dilihat pada (Gambar 3.9, Gambar 3.10 dan
Gambar 3.11).
Gambar
3.9 Peta sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) tahun 2017.
Gambar
3.10 Peta sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) tahun 2017.
Gambar
3.11 Peta sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) tahun 2017.
3.5 Hubungan Hasil Tangkapan dengan Suhu Permukaan Laut
Menurut Nontji (2005), suhu
merupakan salah satu parameter oseanografi yang mempunyai pengaruh terhadap
kehidupan ikan khususnya dan sumberhayati laut pada umumnya. Sebagian besar
biota laut bersifat poikilometrik sehingga suhu merupakan salah satu faktor
yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme
(Nybakken 1992).
Suhu permukaan laut dapat
digunakan sebagai salah satu indikator untuk mengetahui keberadaan suatu spesies
ikan pada suatu perairan. Setiap spesies ikan mempunyai toleransi nilai suhu
tertentu yang disenangi untuk kelangsungan hidupnya sehingga mempengaruhi
keberadaan dan penyebarannya di perairan.
Hubungan hasil tangkapan dengan SPL pada (Gambar 3.12) menunjukan bahwa suhu permukaan laut dapat mempengaruhi
hasil tangkapan ikan Tembang. Hasil tangkapan ikan Tembang paling banyak
tertangkap pada bulan September dengan suhu permukaan laut 28.93°C dengan jumlah hasil tangkapan
sebanyak 124.858 kg.
Gambar
3.12 Hubungan SPL dengan hasil tangkapan ikan tembang.
3.6 Tracking menuju Daerah
Penangkapan Ikan (Fishing ground)
Pada
tanggal 22 April tim anggota pratikum mengikuti nelayan menuju ke daerah
penangkapan ikan (fishing ground) dengan menggunakan kapal angkut Nelayan motor
tempel 40, track direkam pada saat menuju ke daerah penangkapan menggunakan
aplikasi Navionics Boating dan aplikasi i-Boating. Titik koordinat yang di
peroleh pada daerah penangkapan tersebut adalah 6°98'620” Lintang Utara dan
106°53’4722 Bujur Timur (Titik A), 7°03'33.864” Lintang Utara dan 106°19’22.822
Bujur Timur (Titik B) dan7°01'24.764” Lintang Utara dan 106°26’11.902 Bujur
Timur (Titik C). Kisaran klorofil-a pada daerah penangkapan ikan (fishing
ground) tersebut adalah berkisar 0.409 mg/m3 sampai 0.432 mg/m3 dengan
rata-rata 0.420 mg/m3 dan pada suhu 30°C (Gambar 3.13 dan Gambar 3.14).
Gambar 3.13 Tracking dan klorofil-a perjalanan menuju ke daerah penangkapan di titik B.
Gambar
3.14 Track dan SPL perjalanan menuju ke daerah penangkapan di titik B.
3.7
Sebaran Temporal dan Spasial Klorofil-a di Teluk Palabuhanratu
Konsentrasi klorofil-a secara
umum pada bulan Februari masih sedikit, sedangkan pada bulan Maret klorofil-a
sudah mulai memasuki perairan Teluk Palabuhanratu, ini dikarenakan bulan Maret
sudah memasuki musim peralihan musim Timur. Periode Februari sampai awal bulan
Maret terlihat kondisi cuaca yang identik dengan musim peralihan timur, pada
periode tersebut ditemukan bahwa angin yang bertiup kencang. Namun pada
pertengahan bulan Maret 2018, keadaan cuaca mulai berubah. Hal ini sesuai
dengan pendapat Wyrtki (1961) yang menjelaskan musim barat terjadi sekitar
bulan Desember sampai Februari, dimana umumnya angin bertiup kencang, curah
hujan tinggi dan konsentrasi awan yang tebal dan musim pancaroba (peralihan)
terjadi pada bulan Maret dan April.
Tingkat kandungan klorofil-a di daerah perairan
Teluk Palabuhanratu tergolong tinggi dengan rata-rata 0.702 mg/m3
pada daerah yang tidak tertutup awan, nilai kandungan klorofil-a cenderung
berfluktuasi pada setiap bulannya. Citra satelit pada (Gambar 3.3 sampai 3.10)
dapat dilihat pergerakan konsentrasi awan yang meliputi perairan Teluk
Palabuhanratu setiap bulannya. Pergerakan awan tersebut menyebabkan perubahan
penetrasi atau intensitas cahaya yang diterima oleh perairan, selanjutnya
berdampak pada proses pembentukan senyawa organik (fotosintesis) oleh
fitoplankton, hal ini yang menyebakan terjadinya fluktuasi kandungan klorofil-a
di perairan Teluk Palabuhanratu (Fuadi et al. 2016).
3.8 Penentuan Daerah Potensial Penangkapan Ikan Tembang
Penentuan daerah potensial
penangkapan didasarkan pada tiga indikator, yaitu; jumlah tangkapan ikan,
jumlah kandungan klorofil-a, serta sebaran nilai SPL pada daerah penangkapan.
Penentuan daerah potensial penangkapan ikan dalam periode tahun 2017 sampai
tahun 2018 dapat dilihat pada (Gambar 3.14) Berdasarkan (Gambar 3.15) tersebut
dapat diperoleh kategori DPI bulanan sebagaimana disajikan pada Gamabar 3.14
terlihat bahwa DPI yang paling potensial untuk penangkapan ikan tembang selama
periode tahun 2017 sampai 2018 terdapat di wilayah penangkapan titik A dan B,
sedangkan daerah kurang potensial tertadap pada titik C.
Gambar 4.15 Peta daerah potensial
penangkapan ikan Tembang di perairan Teluk Palabuhanratu.
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pratikum
mengenai studi validasi daerah potensial penangkapan ikan Tembang di Perairan
Teluk Palabuhanratu melalui sebaran klorofil-a, suhu permukaan laut dan
komposisi hasil tangkapan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Hubungan klorofil-a dengan hasil
tangkapan ikan tembang sangat mempengaruhi keberadaan ikan dan hasil tangkapan
yang ada di perairan Teluk Palabuhanratu, karena plankton sangat berperan penting
pada proses rantai makanan di laut.
2. Hubungan suhu permukaan laut
(SPL) sangat mempengaruhi hasil tangkapan ikan Tembang, karena setiap jenis
ikan mempunyai suhu yang optimal dengan kondisi tubuhnya.
3. Hasil tangkapan bagan apung di perairan Teluk Palabuharatu paling
banyak tertangkap pada bulan September dengan jumlah 124.858 kg pada kandungan
klorofil-a 0.473 mg/m3 dengan suhu 28.93°C dan hasil tangkapan paling rendah
pada bulan Januari pada kandungan klorofil-a 0.197 mg/m3 dengan SPL 27.68°C.
4. Zonasi atau fishing ground potensial di perairan Teluk Palabuhanratu meliputi daerah titik A dan B, sedangkan pada titk fishing ground C kurang potensial.
DAFTAR PUSTAKA
Baskoro MS, Wahyu RI, dan Effendi
A. 2004. Migrasi dan Distribusi Ikan.
Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. 152 hlm.
Elson L. 2012. Pemetaan Daerah
Penangkapan Ikan dengan Metode Hidroakustik di Selat Malaka. [Skripsi]. Bogor
(ID) : Institut Pertanian Bogor.
Fuadi A, Musman M, Miswar E.
2016. Validasi Daerah Potensial Penangkapan Ikan Pelagis Kecil Menggunakan
Purse Seine dengan citra Satelit di Perairan Pidie Jaya. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan dan Perikanan Unsyiah. 1(2):195-202.
Gower, J.F.R. & J.R. Apel
(eds). 1972. Opportunities and problems
in satellite measurements of the sea.
UNESCO Tech. Pap. 46. 70 p.
Girsang HS. 2008. Studi Penentuan
Daerah Penangkapan Ikan Tongkol Melalui Pemetaan Penyebaran Klorofila dan Hasil
Tangkapan di Palabuhanratu, Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian
Bogor.
Hasan. 2008 Uji Coba Penggunaa
Lampu Lacuba Tenaga Surya Pada Bagan Apung Terhadap Hasil Tangkapan Ikan di
Palabuhan Ratu. Jawa Barat. Jurnal Sains
dan Teknologi Indonesia. 2(3):11-12.
Muklis. 2008. Pemetaan Daerah Penangkapan
Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) dan Tongkol (Euthynnus affinis) di Perairan
Utara Nanggroe Aceh Darussalam [Tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Muklis, Gaol JL, Simbolon D.
2009. Pemetaan Daerah Potensial Penangkapan Ikan, Cakalang, Tongkol, Perairan
Utara Nanggroe Aceh Darussalam. E-Jurnal
Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 1(1):24-32.
Nasution RMH. 2004. Daerah
Penangkapan Ikan. Makalah Pribadi Falsafa
Sains (PPS 702).
Nontji A.
1987. Nusantara. Jakarta: Djambatan.
368 hlm.
Nontji A.
2005. Laut Nusantara. Jakarta:
Penerbit Sjambatan. 372 hal.
Nybakken J. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: PT.
Gramedian. 459
hal. Purbowaseso, B. 1995. Penginderaan Jauh Terapan.
Jakarta:
Universitas Indonesia Press. 467 hal.
Polovina JJ, Howel E, Kobayashi
DR and Seki MP. 2001. The transition zone chlorophyll front, a dynamic global
feature defining migration and forage habitat for marine resources. Progress in Oceanography. 49:469-483.
Putra, Ega., Gaol J L dan Siregar
VP. 2012. Hubungan Konsentrasi Klorofil- a dan Suhu Permukaan Laut dengan Hasil
Tangkapan Ikan Pelagis Utama di Perairan Laut Jawa dari Citra Satelit Modis. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan 3(2) : 1 –
10.
Rosdianto. 2015. Hubungan Hasil Tangkapan
pada Bagan Tancap dengan Menggunakan Lampu Celup Bawah Air dan Lampu Petromaks
di Perairan Pulau Beras Basah Kotamadya Bontang. Wahana Inovasi. 4(1) : 37 – 48
Silvia. 2009. Analisis Daerah
Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus
pelamis) berdasarkan Suhu Permukaan Laut dan Sebaran Klorofil-a di Perairan
Mentawai, Sumatera Barat .[Tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Sudirman. 2003. Profil
Pencahayaan dan Distribusi Ikan pada Areal Penangkapan Bagan Rambo. (Prosiding
Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2003 (3) : 28 - 42
Tadjuddah M. 2009. Kajian Keramahan
Lingkungan Alat tangkap menurut klasifikasi statistik internasional standart
FAO. http://muslim-tajuddah.blogspot.com/(diakses
: 22 Mei 2018).
Tulungen, Donny., Kalangi P N I
dan Patty W. 2012. Kajian Pola Arus di Daerah Penangkapan Bagan Apung di Desa
Tateli Weru. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Perikanan Tangkap. 1(2) : 27 –
32.
Wyrtki K. 1962. Physical
Oceanography of the Southeast Asean Water. Naga Report Vol II. California: The University of California, Scrips
Institution of Oceanography. La
Jolla. 195p.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar