Selasa, 26 Juni 2018

VALIDASI DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN IKAN TEMBANG (Sardinilla fimbriata) MENGGUNAKAN BAGAN APUNG DENGAN CITRA SATELIT DI PERAIRAN PALABUHANRATU


BAB I

PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang

Pantai selatan Jawa Barat terdapat lokasi penting bagi perikanan tangkap yaitu Palabuhanratu. Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu yang berada di kota Palabuhanratu di Teluk Palabuhanratu menghadap ke Samudera Indonesia dipandang sangat strategis karena berada pada posisi dekat dengan daerah penangkapan (fishing ground), yakni Perairan Samudera Indonesia. Potensi sumberdaya ikan di Samudera Indonesia untuk Selatan Jawa dimana Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu berada cukup besar.

Salah satu alat tangkap yang banyak terkonsentrasi di teluk palabuhanratu adalah bagan apung. Menurut Hasan (2008), bagan merupakan salah satu jenis alat tangkap yang menggunakan alat bantu lampu. Nelayan Palabuhanratu menggunakan bagan sebagai alat tangkap untuk menangkap ikan. Dalam proses penangkapan ikan dengan bagan, atraktor cahaya yang digunakan bertujuan mengumpulkan ikan yang mempunyai fototaksis positif. Ikan yang bersifat fototaksis positif akan berkumpul di daerah cahaya lampu sehingga memudahkan nelayan dalam melakukan upaya penangkapan.

Alat tangkap tersebut menghasilkan tangkapan ikan pelagis ekonomis penting. Kemudahan dalam hal pembuatan serta harga yang masih terjangkau membuat alat tangkap ini memiliki perkembangan yang cukup besar. Hal ini karena biaya pengoperasian bermodal perbekalan makan dan minum serta bahan bakar untuk genset secukupnya dan tanpa memperhitungkan hasil tangkapan yang akan didapat. Mereka belum mempertimbangkan hal-hal kecil yang dapat mempengaruhi hasil tangkapan, seperti intensitas cahaya, luas waring, ukuran mata waring, jumlah lampu, kekuatan genset, lama operasi dan tenaga kerja. Pemakaian tentang pengaruh faktor produksi terhadap hasil tangkapan harus dipahami untuk meningkatkan hasil tangkapan.

Unit penangkapan ikan yang dioperasikan oleh nelayan di PPN Palabuhanratu memiliki keanekaragaman. Keberagaman alat tangkap tersebut sesuai dengan jenis ikan yang menjadi target penangkapan, daerah penangkapan dan teknologi penangkapan ikan. Alat tangkap ikan yang terdapat di Palabuhanratu secara umum masih bersifat tradisional. Hal ini terlihat dari teknologi dalam metode penangkapannya dan karakteristik (dimensi dan desain) alat tangkap tersebut (Tadjuddah 2009).

Pemanfaatan sumberdaya ikan memerlukan informasi yang tepat. Ketersediaan informasi mengenai sumberdaya ikan tersebut sangat penting peranannya dalam pembangunan sektor perikanan, khususnya dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap. Informasi mengenai ketersediaan sumberdaya ikan pada suatu perairan memerlukan data yang dapat memberikan hasil yang lebih akurat, sehingga informasi tersebut dapat memberikan gambaran mengenai keberadaan sumberdaya ikan yang mendekati keadaan yang sebenarnya (Elson 2012).

Menurut Nasution (2004), karakteristik suatu perairan dapat dijadikan sebagai acuan dalam menentukan daerah penangkapan ikan dan migrasi ikan yaitu;
1.   Daerah tersebut harus memiliki kondisi dimana ikan dengan mudah datang secara berkelompok dan baik untuk dijadikan tempat untuk mencari makan, dan untuk pemijahan ikan tersebut.

2.   Daerah tersebut harus bisa mengoperasikan alat tangkap yang sesuai.

3.   Daerah tersebut harus bertempat di lokasi yang bernilai ekonomis dan mudah untuk di jangkaui.

Keberadaan daerah ikan di perairan bersifat dinamis, selalu berubah atau berpindah mengikuti pergerakan kondisi lingkungan, yang secara alamiah ikan akan memilih habitat yang lebih sesuai. Sedangkan habitat tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi atau parameter oseanografi perairan seperti suhu permukaan laut, salinitas, konsentrasi klorofil-a, cuaca dan sebagainya (Girsang 2008).

Parameter-parameter oseanografi yang ada di laut dapat diperoleh dengan cara pengukuran langsung, survey lapangan atau dengan menggunakan citra satelit penginderaan jauh. Parameter tersebut dapat digunakan ketika satelit melewati perairan Indonesia, informasi daerah yang diduga terdapat ikan yang dapat diketahui. Informasi tersebut dapat digunakan oleh nelayan dalam kegiatan penangkapan ikan, sehingga penangkapan ikan menjadi lebih efesien dan efektif apabila daerah penangkapan (fishing ground) gerombolan ikan dapat diduga terlebih dahulu sebelum berangkat ke laut untuk menangkap ikan (Polovina et al. 2001; Zainuddin et al. 2006).

1.2 Tujuan Pratikum

Tujuan dari pratikum pada tanggal 20-22 April di Teluk Palabuhanratu adalah:

1.   Menentukan penyebaran SPL dan klorofil-a di perairan Palabuhanratu;

2.   Menentukan komposisi hasil tangkapan ikan tembang dengan alat tangkap Bagan perahu di perairan Teluk Palabuhanratu;

3.   Menganalisis hubungan SPL dan klorofil-a terhadap hasil tangkapan ikan Tembang di perairan Palabuhanratu;

4.   Memprediksi daerah potensial penangkapan ikan tembang di perairan Palabuhanratu;



II METODE PRATIKUM

2.1 Waktu dan Lokasi Pratikum

Pratikum ini dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu: tahap pertama pengumpulan data hasil tangkapan ikan tembang dari Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, download citra SPL dan klorofil-a dari satelit Aqua MODIS. Tahap kedua pengolahan data citra satelit Aqua MODIS untuk mendapatkan informasi parameter oseanografi berupa SPL dan klorofil-a di Teluk Palabuhanratu.

Untuk pratikum ini dilaksanakan pada tanggal 20 sampai 22 April 2018 di perairan Palabuhanratu. Pengambilan data hasil penangkapan ikan diambil pada sentral perikanan tangkap perairan Palabuhanratu (PPN Palabuhanratu). Pengumpulan data lapangan pada tanggal 20 sampai 22 April 2018, download citra SPL dan klorofil-a dari satelit MODIS, serta melakukan pengolahan dan analisis citra satelit MODIS. Adapun peta lokasi penelitian dapat dilihat pada (Gambar 1).
Gambar 1 Peta lokasi pratikum di Perairan Palabuhanratu (googleearth.com).

2.2 Alat dan Bahan
Tabel 1 Peralatan dan bahan yang digunakan dalam pratikum ini adalah;
No
Alat/Bahan


Keterangan

1
GPS
Digunakan
untuk
mengetahui
posisi
koordinat   daerah 
penagkapan ikan saat pengoperasian alat tangkap.


2
Alat tulis
Digunakan untuk mencatat data yang dibutuhkan.
3
Meteran
Digunakan untuk pengukuran panjang ikan layang.
4
Lembaran
Digunakan sebagai tempat pencatatan data yang dibutuhkan
kuesioner






5
Kamera
Digunakan
untuk
mengambil
gambar
yang   dibutuhkan
seperti:gambar ikan Layang, kapal, alat tangkap, dan lain-lain.



Personal
Software  yang digunakan adalah
Microsoft word, Microsoft
6
Exceluntuk menghitung CPUE (Catch per unit effort), SeaDAS
komputer

7.3untuk membaca nilai suhu permukaan laut dan klorofil-a.




2.3 Metode Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dengan metode survei lapangan, yaitu melakukan pengamatan terhadap armada atau unit penangkapan ikan Tembang. Data yang digunakan terdiri atas data primer dan sekunder. Metode survey digunakan untuk pengumpulan data primer tentang posisi penangkapan, waktu operasi. Data primer juga diperoleh melalui wawancara dan pengisian kuisioner terhadap responden yang ditetapkan secara purposive sampling, yaitu terhadap juru mudi kapal (nahkoda) bagan apung.

2.4 Posisi dan Waktu Penangkapan Serta Hasil Tangkapan

Data hasil tangkapan yang diperoleh melalui kegiatan penangkapan ikan Tembang di peraira Teluk Palabuhanratu. Data yang dikumpulkan dari penangkapan ikan adalah:

1.  Posisi kapal (koordinat) pada saat melakukan operasi penangkapan.
2.  Waktu operasi penangkapan.
3.  Komposisi jumlah hasil tangkapan.

2.5 Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a

Data sebaran suhu permukaan laut dan klorofil-a di perairan Palabuhanratu merupakan data sekunder yang diperoleh melalui cara men-download hasil citra suhu permukaan laut dan klorofil-a yang telah tersedia di internet. Data diperoleh melalui situs http://oceancolor.gsfc.nasa.gov. Data yang dipilih merupakan data bulanan sebaran suhu permukaan laut dan klorofil-a, citra ini pilih karena pada penampilan sudah jelas dan bagus dalam bentuk format JPEG.

Data sekunder lain yang dikumpulkan adalah kondisi umum perikanan di lokasi penelitian seperti data produksi ikan tahunan, nilai produksi tahunan hasil tangkapan, dan unit penangkapan. Data tersebut diperoleh dari DINAS perikanan setempat (PPN) Palabuhanratu, instansi terkait lainnya dan studi literatur.

2.6 Analisis Data
2.6.1Analisis hasil tangkapan

Hasil tangkapan yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Hasil tangkapan yang diperoleh dari masing-masing bagan apung selama pratikum digabung untuk mengetahui komposisi hasil tangkapan (jumlah hasil tangkapan) berdasarkan hasil tangkapan yang di lakukan bongkar muat di dermaga PPN Palabuhanratu.

2.6.2 Analisis Citra Sateli SeaDas

Data sebaran klorofil-a dan suhu permukaan laut (SPL) diketahui dari citra satelit MODIS yang telah terkoreksi dan ditampilkan dalam bentuk format gambar (JPEG). Konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut pada daerah penangkapan ikan pada saat trip operasi penangkapan dapat dihitung dengan menggunakan software SeaDas 7.3. Citra klorofil-a dan suhu permukaan laut kemudian diolah untuk mendapat konsentrasi berdasarkan posisi penangkapan yaitu di perairan Teluk Palabuhanratu. Untuk memperbaiki tampilan citra terdapat beberapa program atau fungsi dalam proyeksi analisis pada citra satelit (SeaDas).

Citra yang telah diolah kemudian dikeluarkan nilai konsentrasinya berdasarkan tiap-tiap plot (kotak) posisi penangkapan. Program yang digunakan output data function yang digunakan untuk memberi keluaran berupa data ASCII dan kemudian diambil nilai klorofil-a dan suhu permukaan laut untuk setiap posisi daerah penangkapan (fishing ground).

2.6.3 Penentuan Daerah Potensial Penangkapan Ikan Tembang

Dalam menentukan daerah penangkapan ikan tembang potensial dapat ditentukan dengan mengetahui informasi terhadap indikator-indikator yang mempengaruhi suatu daerah penangkapan ikan potensial. Indikator-indikator daerah penangkapan ikan tembang potensial adalah jumlah hasil tangkapan ikan tembang, sebaran SPL dan sebaran klorofil-a di suatu daerah penangkapan. Masing-masing indikator tersebut dievaluasi secara parsial dan diberi nilai (score), kemudian hasil evaluasi tersebut dapat digunakan untuk menentukan daerah penangkapan ikan potensial tembang di perairan Teluk Palabuhanratu.

1. Hasil Tangkapan Ikan Tembang

Penentuan daerah potensial penangkapan ikan tembang berdasarkan indikator hasil tangkapan ikan tembang dapat diperoleh dengan membandingkan nilai rata-rata CPUE dari setiap daerah penangkapan ikan dengan nilai rata-rata CPUE selama 4 bulan, yakni bulan Januari sampai April 2018.

Setelah dilakukan perbandingan nilai rata-rata CPUE dari setiap daerah penangkapan ikan, selanjutnya dapat ditentukan daerah penangkapan ikan tembang yang termasuk ke dalam daerah penangkapan ikan yang potensial, sedang potensial, atau kurang potensial (Tabel 2). Tabel 2 Penilaian jumlah hasil tangkapan.
Jumlah hasil tangkapan (Kg)
Penilaian
≤ 400 Kg
Sedikit
400 Kg ≤ HT < 800 Kg
Sedang
≥ 800 Kg
Banyak
Sumber: Fuadi et al. (2016).


2. Suhu permukaan laut (SPL)

Penentuan suatu daerah penangkapan ikan tembang potensial berdasarkan indikator SPL dapat dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:

a. Menganalisis hubungan SPL terhadap hasil tangkapan

Suhu permukaan laut dapat berpengaruh terhadap penyebaran atau keberadaan ikan tembang di suatu perairan. Menurut Baskoro et al. (2004), suhu dapat mempengaruhi penyebaran keberadaan ikan, dikarenakan (1) sebagai pengatur proses metabolisme dalam tubuh (dapat mempengaruhi permintaan kebutuhan makanan dan tingkat penerimaan serta tingkat pertumbuhan), (2) sebagai pengatur aktivitas pergerakan tubuh (kecepatan renang), dan (3) sebagai stimulus syaraf.
Hubungan SPL terhadap hasil tangkapan ikan tembang dapat digunakan sebagai indikator untuk mengetahui keberadaan ikan tembang di perairan, apabila SPL berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan. Jika hal tersebut terpenuhi, maka langkah selanjutnya mencari SPL yang optimum untuk penangkapan ikan tembang. Sebaliknya jika SPL tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan maka SPL kurang tepat dijadikan sebagai indikator daerah penangkapan ikan potensial.
b. Menentukan SPL optimum

Penentuan SPL optimum untuk ikan tembang dapat dilakukan dengan menggunakan penyajian diagram pencar. Penyajian diagram pencar yang dimaksudkan untuk melihat sebaran SPL optimum terhadap CPUE ikan tembang di setiap daerah penangkapan ikan. Setelah memperoleh SPL optimum di setiap daerah penangkapan ikan tembang, SPL optimum di-overlay terhadap peta tematik daerah penangkapan ikan tembang.

3. Klorofil-a

Penentuan suatu daerah potensial penangkapan ikan tembang berdasarkan indikator klorofil-a dapat dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:

a.   Menganalisis hubungan klorofil-a terhadap hasil tangkapan ikan tembang. Klorofil-a juga dapat digunakan untuk menentukan tingkat kesuburan

perairan yang sangat mempengaruhi kehidupan biota di suatu perairan. Nilai klorofil-a optimum dapat berpengaruh secara signifikan terhadap hasil tangkapan ikan tembang. Hal ini terbukti dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Muklis (2008). Muklis menyatakan bahwa meningkatnya konsentrasi klorofil-a di suatu perairan berpengaruh dan terdapat hasil tangkapan yang meningkat, begitu sebaliknya penurunan konsentrasi klorofil-a berpengaruh terdapat hasil tangkapan ikan yang menurun.

b. Menentukan konsentrasi klorofil-a optimum

Penentuan konsentrasi klorofil-a optimum untuk ikan tembang dapat dilakukan dengan menggunakan penyajian diagram pencar. Penyajian diagram pencar dimaksudkan untuk melihat sebaran klorofil-a optimum terhadap CPUE ikan tembang di setiap daerah penangkapan ikan. Setelah memperoleh sebaran klorofil-a optimum di setiap daerah penangkapan ikan tembang, selanjutnya klorofil-a optimum di-overlay terhadap peta tematik daerah penangkapan ikan tembang. Klasifikasi konsentrasi klorofil-a dapat dilihat pada (Tabel 3). Tabel 3 Klasifikasi konsentrasi klorofil-a.
No
Kategori
Nilai Klorofil-a
1
Rendah
< 0,3 mg/m3
2
Sedang
0,31 – 1 mg/m3
3
Tinggi
> 1 mg/m3

Langkah terakhir untuk dapat menentukan daerah potensial penangkapan ikan tembang adalah dengan mengelompokkan nilai bobot (scoring) gabungan yang ditentukan melalui penjumlahan nilai bobot dari keempat indikator di atas. Kategori pengelompokan nilai bobot gabungan dari keempat indikator kemudian dibagi menjadi tiga (Silvia 2009) yaitu:
§  Jika nilai bobot gabungan berada pada kisaran tertinggi, DPI tersebut dikategorikan sebagai DPI potensial dan diberi bobot 6;

§  Jika nilai bobot gabungan berada pada kisaran menengah, DPI tersebut dikategorikan sebagai DPI sedang potensial dan diberi bobot 4;


§  Jika nilai bobot gabungan berada pada kisaran terendah, DPI tersebut dikategorikan sebagai DPI kurang potensial dan diberi bobot 2.


Wilayah perairan yang mempunyai jumlah indikator tertinggi akan dikategorikan wilayah daerah penangkapan ikan potensial, dan apabila wilayah tersebut mendapatkan nilai indikator paling sedikit makan daerah tersebut dikatakan daerah penangkapan ikan tidak potensial. Selanjutnya, dari semua kategori tersebut dapat menghasilkan peta daerah potensial penangkapan ikan tembang di perairan Teluk Palabuhanratu.

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

  
3.1 Hasil tangkapan ikan Tembang

Jumlah hasil tangkapan ikan Tembang pada bulan Januari sampai bulan Maret 2018 mencapai 3.200 kg. Hasil tangkapan pada bulan April lebih sedikit yaitu; sebesar 200 kg dengan CPUE (Catch per unit effort) sebesar 20 kg/trip jika dibandingkan dengan bulan Januari sebesar 1.305 kg dengan CPUE sebesar 193 kg/trip, di karenakan cuaca pada bulan April terjadi arus kencang sehingga pada saat alat tangkap bagan apung di hauling alat tangkap tersebut tidak effektif (Gambar 3.1). Kecepatan arus permukaan lebih besar 0,34 m/detik, nelayan bagan tidak menurunkan waring (Sudirman 2003). Sehingga arus merupakan salah satu pembatas dalam mengoperasikan bagan (Rosdianto 2015).


Dalam pemanfaatan sumber daya ikan salah satu faktor yang harus diketahui adalah parameter oseanografi misalnya arus karena arus mempunyai peranan penting terhadap sistem ekologi laut (Martono 2008 dalam Tulungan et al. 2012) dan merupakan parameter yang banyak mendapat perhatian (Tulungen et al. 2012). Keberadaan ikan di fishing ground dan distribusi ikan (Baskoro et al. 2004).

Gambar 3.1 Jumlah hasil tangkapan dan CPUE dari bulan Januari sampai April 2018.

Produksi ikan Tembang di perairan Teluk Palabuhanratu pada 2017 dari bulan Januari sampai bulan Desember berfluktuasi dari setiap bulannya. Produksi terbanyak berada pada bulan September dan Oktober 2017, yaitu 124.858 kg dan 117.766 kg, sedangkan produksi terendah yaitu dan pada bulan Januari sebanyak 1.865 kg (Gambar 3.2).

Gambar 3.2 Jumlah Produksi hasil tangkapan pada tahun 2017.


3.2 Kandungan Klorofil-a di Perairan Teluk Palabuhanratu


Penyebaran kandungan klorofil-a menurut waktu dan lokasi pengamatan di perairan Teluk Palabuhanratu sebaran spasial kandungan klorofil-a dapat dilihat bahwa pada (Gambar 3.3) konsentrasi klorofil-a pada lokasi penangkapan ikan bagan apung pada saat pratikum berkisar dari 0.891 mg/m3 sampai 0.956 mg/m3. Citra pada gambar terlihat bahwa semakin mendekati pantai kandungan klorofil-a cenderung semakin tinggi nilai klorofilnya.
Gambar 3.3 Sebaran Klorofil-a 22 April 2018.

Citra sebaran konsentrasi klorofil-a pada tahun 2018 (bulan Januari, Februari dan Maret), pada bulan Januari menunjukkan konsentrasi klorofil-a bervariasi di Perairan Palabuhanratu yang berkisar antara 0,157-0,261 mg/m3. Konsentrasi klorofil-a paling besar terdapat pada bulan Januari sebesar 0.261 mg/m3 dengan hasil tangkapan sebesar 1.305 Kg, sedangkan konsentrasi terendah terdapat pada bulan bulan Februari dengan jumlah hasil tangkapan ikan Tembang sebesar 785 Kg (Gambar 3.4 dan Gambar 3.5).
Gambar 3.4 Peta Sebaran Klorofil-a Januari 2018.

Gambar 3.5 Peta Sebaran klorofil-a pada bulan Februari dan Maret 2018.

Konsentrasi klorofil-a pada tahun 2017 di perairan Teluk Palabuhanratu dari bulan Januari sampai bulan Desember 2017 sangat bervariasi. Citra MODIS nilai konsentrasi klorofil-a pada tahun 2017 berkisar antara 0,163 mg/m3 sampai dengan 0,473 mg/m3 dengan rata-rata 0,265 mg/m3. Nilai konsentrasi klorofil-a paling tinggi terdapat pada bulan September sebanyak 0,473 mg/m3 dengan jumlah hasil tangkapan sebanyak 124.858 kg dan nilai konsentrasi klorofil-a paling rendah terdapat pada bulan November berjumlah 0,163 mg/m3 dengan hasil tangkapan ikan tembang sebanyak 23.560 Kg (Gambar 3.6 dan Gambar 3.7).
Gambar 3.6 Peta Sebaran nilai klorofil-a tahun 2017.

Gambar 3.7 Peta sebaran nilai klorofil-a tahun 2017.

3.3 Hubungan Klorofil-a dengan Hasil Tangkapan

Pada Grafik dibawah terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi klorofil-a maka hasil tangkapan ikan Tembang juga meningkat, hal ini membuktikan bahwa Fitoplankton memegang peranan penting sebagai produsen di laut dalam proses rantai makanan.

Konsentrasi klorofil-a >0.2 mg/m3 telah menunjukan kehadiran dari fitoplankton yang memadai untuk mempertahankan rantai makanan dan kelangsungan perkembangbiakan ikan (Gower 1972). Keberadaan fitoplankton menjadi penompang kehidupan sumberdaya hayati di laut. Peningkatan kelimpahan fitoplankton juga akan meningkat kelimpahan zooplankton dan selanjutnya diharapkan kelimpahan ikan pelagis kecil dan besar juga akan meningkat.

Hasil tangkapan ikan Tembang paling tertangkap pada bulan September dengan kandungan konsentrasi klorofil-a 0.473 mg/m3 dengan hasil tangkapan sebesar 124.858 kg dapat dilihat pada (Gambar 3.8).
Menurut Putra et al. (2012), ikan tembang merupakan ikan pelagis yang keberadaannya bergantung pada konsentrasi klorofil-a. Kenaikan konsentrasi klorofil-a akan diiringi dengan kenaikan nilai CPUE. Naiknya nilai konsentrasi klorofil-a tidak langsung berdampak pada naiknya nilai CPUE, tetapi membutuhkan beberapa waktu sehingga klorofil yang telah ada dimanfaatkan oleh zooplankton sebagai sumber makanan. Terdapat rentang waktu sekitar satu sampai dua bulan antara mulai naiknya nilai CPUE ikan tembang dengan klorofil- a maksimum di perairan Laut Jawa. Konsentrasi Klorofil-a mencapai puncaknya pada musim barat sedangkan kenaikan nilai CPUE baru terjadi pada musim peralihan 1.
Gambar 3.8 Grafik Hubungan Klorofil-a dengan hasil tangkapan.

3.4 Suhu Permukaan Laut (SPL)

Sebaran suhu permukaan laut di perairan Teluk Palabuhanratu yang didapat melalui pengolahan citra dengan menggunakan software SeaDas (Aqua/Terra MODIS) pada tahun 2017 menghasilkan gambar citra suhu permukaan laut secara jelas yang berbeda pada setiap kisaran suhu yang berbeda, dari keseluruhan citra suhu permukaan laut yang diperoleh, terlihat bahwa SPL pada bulan Januari sampai bulan Desember sangat bervariasi mulai dari suhu yang terendah 2°C hingga yang tertinggi yaitu 30°C pada (Gambar 3.9)

Kisaran suhu permukaan laut pada citra satelit daerah perairan Teluk Palabuhanratu menunjukkan nilai konsentrasi suhu permukaan laut (SPL) paling tinggi terjadi pada bulan Oktober sebanyak 29.246°C dengan jumlah hasil tangkapan sebanyak 117.766 kg dan nilai konsentrasi SPL paling rendah terdapat pada bulan Agustus sebesar 26.563°C dengan jumlah hasil tangkapan ikan Termbang sebanyak 86.015 Kg dapat dilihat pada (Gambar 3.9, Gambar 3.10 dan Gambar 3.11).
Gambar 3.9 Peta sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) tahun 2017.
Gambar 3.10 Peta sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) tahun 2017.
Gambar 3.11 Peta sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) tahun 2017.


3.5 Hubungan Hasil Tangkapan dengan Suhu Permukaan Laut

Menurut Nontji (2005), suhu merupakan salah satu parameter oseanografi yang mempunyai pengaruh terhadap kehidupan ikan khususnya dan sumberhayati laut pada umumnya. Sebagian besar biota laut bersifat poikilometrik sehingga suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme (Nybakken 1992).

Suhu permukaan laut dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk mengetahui keberadaan suatu spesies ikan pada suatu perairan. Setiap spesies ikan mempunyai toleransi nilai suhu tertentu yang disenangi untuk kelangsungan hidupnya sehingga mempengaruhi keberadaan dan penyebarannya di perairan.

Hubungan hasil tangkapan dengan SPL pada (Gambar 3.12) menunjukan bahwa suhu permukaan laut dapat mempengaruhi hasil tangkapan ikan Tembang. Hasil tangkapan ikan Tembang paling banyak tertangkap pada bulan September dengan suhu permukaan laut 28.93°C dengan jumlah hasil tangkapan sebanyak 124.858 kg.
Gambar 3.12 Hubungan SPL dengan hasil tangkapan ikan tembang.


3.6 Tracking menuju Daerah Penangkapan Ikan (Fishing ground)   
Pada tanggal 22 April tim anggota pratikum mengikuti nelayan menuju ke daerah penangkapan ikan (fishing ground) dengan menggunakan kapal angkut Nelayan motor tempel 40, track direkam pada saat menuju ke daerah penangkapan menggunakan aplikasi Navionics Boating dan aplikasi i-Boating. Titik koordinat yang di peroleh pada daerah penangkapan tersebut adalah 6°98'620” Lintang Utara dan 106°53’4722 Bujur Timur (Titik A), 7°03'33.864” Lintang Utara dan 106°19’22.822 Bujur Timur (Titik B) dan7°01'24.764” Lintang Utara dan 106°26’11.902 Bujur Timur (Titik C). Kisaran klorofil-a pada daerah penangkapan ikan (fishing ground) tersebut adalah berkisar 0.409 mg/m3 sampai 0.432 mg/m3 dengan rata-rata 0.420 mg/m3 dan pada suhu 30°C (Gambar 3.13 dan Gambar 3.14).

Gambar 3.13 Tracking dan klorofil-a perjalanan menuju ke daerah penangkapan di titik B.
Gambar 3.14 Track dan SPL perjalanan menuju ke daerah penangkapan di titik B.


3.7 Sebaran Temporal dan Spasial Klorofil-a di Teluk Palabuhanratu

Konsentrasi klorofil-a secara umum pada bulan Februari masih sedikit, sedangkan pada bulan Maret klorofil-a sudah mulai memasuki perairan Teluk Palabuhanratu, ini dikarenakan bulan Maret sudah memasuki musim peralihan musim Timur. Periode Februari sampai awal bulan Maret terlihat kondisi cuaca yang identik dengan musim peralihan timur, pada periode tersebut ditemukan bahwa angin yang bertiup kencang. Namun pada pertengahan bulan Maret 2018, keadaan cuaca mulai berubah. Hal ini sesuai dengan pendapat Wyrtki (1961) yang menjelaskan musim barat terjadi sekitar bulan Desember sampai Februari, dimana umumnya angin bertiup kencang, curah hujan tinggi dan konsentrasi awan yang tebal dan musim pancaroba (peralihan) terjadi pada bulan Maret dan April.
Tingkat kandungan klorofil-a di daerah perairan Teluk Palabuhanratu tergolong tinggi dengan rata-rata 0.702 mg/m3 pada daerah yang tidak tertutup awan, nilai kandungan klorofil-a cenderung berfluktuasi pada setiap bulannya. Citra satelit pada (Gambar 3.3 sampai 3.10) dapat dilihat pergerakan konsentrasi awan yang meliputi perairan Teluk Palabuhanratu setiap bulannya. Pergerakan awan tersebut menyebabkan perubahan penetrasi atau intensitas cahaya yang diterima oleh perairan, selanjutnya berdampak pada proses pembentukan senyawa organik (fotosintesis) oleh fitoplankton, hal ini yang menyebakan terjadinya fluktuasi kandungan klorofil-a di perairan Teluk Palabuhanratu (Fuadi et al. 2016).

3.8 Penentuan Daerah Potensial Penangkapan Ikan Tembang

Penentuan daerah potensial penangkapan didasarkan pada tiga indikator, yaitu; jumlah tangkapan ikan, jumlah kandungan klorofil-a, serta sebaran nilai SPL pada daerah penangkapan. Penentuan daerah potensial penangkapan ikan dalam periode tahun 2017 sampai tahun 2018 dapat dilihat pada (Gambar 3.14) Berdasarkan (Gambar 3.15) tersebut dapat diperoleh kategori DPI bulanan sebagaimana disajikan pada Gamabar 3.14 terlihat bahwa DPI yang paling potensial untuk penangkapan ikan tembang selama periode tahun 2017 sampai 2018 terdapat di wilayah penangkapan titik A dan B, sedangkan daerah kurang potensial tertadap pada titik C.
Gambar 4.15 Peta daerah potensial penangkapan ikan Tembang di perairan Teluk Palabuhanratu.


BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pratikum mengenai studi validasi daerah potensial penangkapan ikan Tembang di Perairan Teluk Palabuhanratu melalui sebaran klorofil-a, suhu permukaan laut dan komposisi hasil tangkapan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Hubungan klorofil-a dengan hasil tangkapan ikan tembang sangat mempengaruhi keberadaan ikan dan hasil tangkapan yang ada di perairan Teluk Palabuhanratu, karena plankton sangat berperan penting pada proses rantai makanan di laut.
2. Hubungan suhu permukaan laut (SPL) sangat mempengaruhi hasil tangkapan ikan Tembang, karena setiap jenis ikan mempunyai suhu yang optimal dengan kondisi tubuhnya.
3.  Hasil tangkapan bagan apung di perairan Teluk Palabuharatu paling banyak tertangkap pada bulan September dengan jumlah 124.858 kg pada kandungan klorofil-a 0.473 mg/m3 dengan suhu 28.93°C dan hasil tangkapan paling rendah pada bulan Januari pada kandungan klorofil-a 0.197 mg/m3 dengan SPL 27.68°C.
4.  Zonasi atau fishing ground potensial di perairan Teluk Palabuhanratu meliputi daerah titik A dan B, sedangkan pada titk fishing ground C kurang potensial.


DAFTAR PUSTAKA


Baskoro MS, Wahyu RI, dan Effendi A. 2004. Migrasi dan Distribusi Ikan. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. 152 hlm.
Elson L. 2012. Pemetaan Daerah Penangkapan Ikan dengan Metode Hidroakustik di Selat Malaka. [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Fuadi A, Musman M, Miswar E. 2016. Validasi Daerah Potensial Penangkapan Ikan Pelagis Kecil Menggunakan Purse Seine dengan citra Satelit di Perairan Pidie Jaya. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan dan Perikanan Unsyiah. 1(2):195-202.
Gower, J.F.R. & J.R. Apel (eds). 1972. Opportunities and problems in satellite measurements of the sea. UNESCO Tech. Pap. 46. 70 p.
Girsang HS. 2008. Studi Penentuan Daerah Penangkapan Ikan Tongkol Melalui Pemetaan Penyebaran Klorofila dan Hasil Tangkapan di Palabuhanratu, Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Hasan. 2008 Uji Coba Penggunaa Lampu Lacuba Tenaga Surya Pada Bagan Apung Terhadap Hasil Tangkapan Ikan di Palabuhan Ratu. Jawa Barat. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia. 2(3):11-12.
Muklis. 2008. Pemetaan Daerah Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) dan Tongkol (Euthynnus affinis) di Perairan Utara Nanggroe Aceh Darussalam [Tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Muklis, Gaol JL, Simbolon D. 2009. Pemetaan Daerah Potensial Penangkapan Ikan, Cakalang, Tongkol, Perairan Utara Nanggroe Aceh Darussalam. E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 1(1):24-32.
Nasution RMH. 2004. Daerah Penangkapan Ikan. Makalah Pribadi Falsafa Sains (PPS 702).
Nontji A. 1987. Nusantara. Jakarta: Djambatan. 368 hlm.
Nontji A. 2005. Laut Nusantara. Jakarta: Penerbit Sjambatan. 372 hal.
Nybakken                J.   1992.   Biologi  Laut   Suatu   Pendekatan                       Ekologis.  Jakarta: PT.
Gramedian. 459 hal. Purbowaseso, B. 1995. Penginderaan Jauh Terapan.
Jakarta: Universitas Indonesia Press. 467 hal.
Polovina JJ, Howel E, Kobayashi DR and Seki MP. 2001. The transition zone chlorophyll front, a dynamic global feature defining migration and forage habitat for marine resources. Progress in Oceanography. 49:469-483.
Putra, Ega., Gaol J L dan Siregar VP. 2012. Hubungan Konsentrasi Klorofil- a dan Suhu Permukaan Laut dengan Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Utama di Perairan Laut Jawa dari Citra Satelit Modis. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan 3(2) : 1 10.
Rosdianto. 2015. Hubungan Hasil Tangkapan pada Bagan Tancap dengan Menggunakan Lampu Celup Bawah Air dan Lampu Petromaks di Perairan Pulau Beras Basah Kotamadya Bontang. Wahana Inovasi. 4(1) : 37 – 48
Silvia. 2009. Analisis Daerah Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) berdasarkan Suhu Permukaan Laut dan Sebaran Klorofil-a di Perairan Mentawai, Sumatera Barat .[Tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Sudirman. 2003. Profil Pencahayaan dan Distribusi Ikan pada Areal Penangkapan Bagan Rambo. (Prosiding Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2003 (3) : 28 - 42
Tadjuddah M. 2009. Kajian Keramahan Lingkungan Alat tangkap menurut klasifikasi statistik internasional standart FAO. http://muslim-tajuddah.blogspot.com/(diakses : 22 Mei 2018).
Tulungen, Donny., Kalangi P N I dan Patty W. 2012. Kajian Pola Arus di Daerah Penangkapan Bagan Apung di Desa Tateli Weru. Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap. 1(2) : 27 32.
Wyrtki K. 1962. Physical Oceanography of the Southeast Asean Water. Naga Report Vol II. California: The University of California, Scrips Institution of Oceanography. La Jolla. 195p.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERAN DISTRIK NAVIGASI DALAM KESELAMATAN PELAYARAN

A.   PENDAHULUAN Indonesia adalah negara maritim terbesar di dunia, yang memiliki 17.504 pulau yang membentang dari Sabang sampai Meraoke...