Senin, 25 Juni 2018

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT DAN UPWELLING TERHADAP DAERAH PENANGKAPAN IKAN


I.    PENDAHULUAN

1.   Latar Belakang
1.1    Daerah Penangkapan Ikan
Indonesia merupakan negara kepulauan yang  terdiri dari 16.777 pulau dan hampir dua pertiga bagiannya terdiri dari lautan, serta mempunyai garis pantai sepanjang 95.181 km. Maka tidak salah jika dari dahulu Indonesia dikenal sebagai bangsa pelaut. Semenjak berakhirnya pemerintahan orde baru, maka pemerintah telah mencanangkan kebijakan pembangunan strategis yang diarahkan kepada pembangunan sumber daya pesisir dan laut. Alasan pokok kebijakan tersebut diantaranya: Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, luas laut sekitar 3,1 juta km atau 62% dari luas teritorialnya. Semakin meningkatnya pembanguanan dan jumlah penduduk serta semakin menipisnya sumberdaya alam di daratan. Pergeseran konsentrasi kegiatan ekonomi global dari poros Eropa-Atlantik mejadi poros Asia Pasifik yang diikuti perdagangan bebas dunia pada tahun 2020,  menjadikan kekayaan laut indoneisa menjadi aset nasional.
Daerah penangkapan ikan adalah suatu daerah perairan tempat ikan berkumpul, dimana penangkapan ikan dapat dilakukan dengan baik dengan ciri-ciri tempat tersebut adalah tempat pelaksanaan aktivitas penangkapan dan terdapat gerombolan ikan yang layak di tangkap dan juga harganya yang ekonomis tinggi (Waluyo 1993).
Kebiasaan nelayan dalam menentukan daerah penangkapan ikan selalu dengan menduga dan pada umumnya nelayan dalam mencari gerombolan ikan (schooling fish) membutuhkan waktu yang sangat lama dan belum tentu mendapatkan hasil tangkapan, karena nelayan hanya menggunakan pendugaan sehingga tidak efektif untuk mendapatkan hasil tangkapan, salah satu faktor penentuan keberhasilan penangkapan ikan adalah dengan ketepatan dalam menentukan suatu daerah penangkapan ikan. Mereka belum mampu membuat rencana operasi penangkapan ikan akibat perubahan oseanografi atau cuaca yang sangat mempengaruhi perubahan potensi penangkapan ikan yang dapat berubah-ubah (Fuadi et al. 2016).
Keberadaan ikan di suatu perairan bersifat dinamis, selalu berubah atau berpindah mengikuti pergerakan kondisi lingkungan, yang secara alamiah ikan akan memilih habitat yang lebih sesuai. Sedangkan habitat tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi atau parameter oseanografi perairan seperti suhu permukaan laut, salinitas, konsentrasi klorofil-a, cuaca dan sebagainya (Girsang 2008).
Pemanfaatan sumberdaya ikan memerlukan informasi yang tepat. Ketersediaan informasi mengenai sumberdaya ikan tersebut sangat penting peranannya dalam pembangunan sektor perikanan, khususnya dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap. Informasi mengenai ketersediaan sumberdaya ikan pada suatu perairan memerlukan data yang dapat memberikan hasil yang lebih akurat, sehingga informasi tersebut dapat memberikan gambaran mengenai keberadaan sumberdaya ikan yang mendekati keadaan yang sebenarnya (Elson 2012).

1.2    Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor yang penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. Proses kehidupan yang vital yang secara kolektif disebut metabolisme, hanya berfungsi didalam kisaran suhu yang relatif sempit biasanya antara 0-40°C, meskipun demikian bebarapa beberapa ganggang hijau biru mampu mentolerir suhu sampai 85°C.  Selain itu, suhu juga sangat penting bagi kehidupan organisme di perairan, karena suhu mempengaruhi baik aktivitas maupun perkembangbiakan dari organisme tersebut. Oleh karena itu, tidak heran jika banyak dijumpai bermacam-macam jenis ikan yang terdapat di berbagai tempat di dunia yang mempunyai toleransi tertentu terhadap suhu. Ada yang mempunyai toleransi yang besar terhadap perubahan suhu, disebut bersifat euryterm. Sebaliknya ada pula yang toleransinya kecil, disebut bersifat stenoterm. Sebagai contoh ikan di daerah sub-tropis dan kutub mampu mentolerir suhu yang rendah, sedangkan ikan di daerah tropis menyukai suhu yang hangat. Suhu optimum dibutuhkan oleh ikan untuk pertumbuhannya. Ikan yang berada pada suhu yang cocok, memiliki selera makan yang lebih baik.
Menurut Ali 2014, suhu merupakan parameter yang penting dalam penentuan energi panas atau bahang (heat), sedangkan suhu perairan mempengaruhi banyak siklus kehidupan di laut. Ikan-ikan yang melakukan spawning,  feeding, dan nursing juga dipengaruhi oleh suhu yang ada di suatu perairan. Suhu perairan juga dapat mempengaruhi fenomena-fenomena alam yang ada di laut dan mempengaruhi suatu iklim secara global. Pengaruh suhu permukaan laut tersebut ada yang menjadikan lokasi perairan tersebut menjadi subur dan ada juga menjadi tercemar. Manfaat suhu permukaan laut untuk mengetahui gejala fisik, hubungan kehidupan hewan dan tumbuhan, dan bahkan pengkajian meteorologi. Pengaruh suhu permukaan laut yaitu kecepatan makan ikan, penyebaran ikan, arah ruaya, metabolisme pertumbuhan serta kelimpahan ikan.
Sesuai apa yg dikatakan Nybakken pada tahun 1988 bahwa Sebagian besar organisme laut bersifat poikilotermik (suhu tubuh sangat dipengaruhi suhu massa air sekitarnya), oleh karenanya pola penyebaran organisme laut sangat mengikuti perbedaan suhu laut secara geografik. Berdasarkan penyebaran suhu permukaan laut dan penyebaran organisme secara keseluruhan maka dapat dibedakan menjadi 4 zona biogeografik utama yaitu:
·     Kutub,
·     Tropic,
·     Beriklim sedang panas dan
·     Beriklim sedang dingin
Terdapat pula zona peralihan antara daerah-daerah ini, tetapi tidak mutlak karena pembatasannya dapat agak berubah sesuai dengan musim. Organisme perairan seperti ikan maupun udang mampu hidup baik pada kisaran suhu 20-30°C. Perubahan suhu di bawah 20°C atau di atas 30°C menyebabkan ikan mengalami stres yang biasanya diikuti oleh menurunnya daya cerna (Trubus Edisi 425 2005).
Menurut Hela dan Leavestu (1970), suhu merupakan faktor penting untuk menetukan penilaian suatu daerah penangkapan ikan (fishing ground), dimana hal tersebut tidak hanya ditentukan oleh suhu semata, akan tetapi juga oleh perubahan suhu. Fluktuasi suhu dan perubahan geografis merupakan faktor penting dalam merangsang dan menentukan pengkonsetrasian gerombolan ikan. Suhu memegang peranan dalam penentuan daerah  penangkapan ikan (Gunarso 1996). SST dapat di deteksi dengan alat pengindera suhu yaitu sensor infra merah termal.  Lokasi upwelling dapat di deteksi oleh alat pengindera suhu karena massa air tersebut mempunyai suhu yang lebih dingin, sehingga suhu permukaan akan menjadi lebih dingin dibandingkan dengan suhu air di sekitarnya.
Parameter-parameter oseanografi yang ada di laut dapat diperoleh dengan cara pengukuran langsung, survey lapangan atau dengan menggunakan citra satelit penginderaan jauh. Parameter tersebut dapat digunakan ketika satelit melewati perairan Indonesia, informasi daerah yang diduga terdapat ikan yang dapat diketahui. Informasi tersebut dapat digunakan oleh nelayan dalam kegiatan penangkapan ikan, sehingga penangkapan ikan menjadi lebih efesien dan efektif apabila daerah penangkapan (fishing ground) gerombolan ikan dapat diduga terlebih dahulu sebelum berangkat ke laut untuk menangkap ikan.
Suhu berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan, mulai dari telur, benih sampai ukuran dewasa. Suhu air akan berpengaruh terhadap proses penetasan telur dan perkembangan telur. Rentang toleransi serta suhu optimum tempat pemeliharaan ikan berbeda untuk setiap jenis/spesies ikan. Suhu memberikan dampak sebagai berikut terhadap ikan :
·     Suhu dapat mempengaruhi aktivitas makan ikan peningkatan suhu
·     Peningkatan aktivitas metabolisme ikan
·     Penurunan gas (oksigen) terlarut
·     Efek pada proses reproduksi ikan
·     Suhu ekstrim bisa menyebabkan kematian ikan
Distribusi suhu secara horizontal dan vertikal mempengaruhi periode pemijahan, kemampuan perkembangan telur-telur dan larva serta ketersediaan makanan dan lapisan renang ikan (swimming layer). Perubahan suhu musiman pada suatu perairan, selain disebabkan oleh pengaruh pemanasan bumi dari penyinaran matahari, disebabkan pula oleh arus permukaan, keadaan liputan awan, pertukaran massa air secara horizontal, vertikal maupun karena peristiwa upwelling.


1.3    Upwelling
Upwelling adalah penaikan massa air laut dari suatu lapisan dalam ke lapisan permukaan. Gerakan naik ini membawa serta air yang suhunya lebih dingin, salinitas tinggi, dan zat-zat hara yang kaya ke permukaan (Nontji 1993). Menurut Barnes (1988), proses upwelling ini dapat terjadi dalam tiga bentuk yaitu :
a.   Pertama, pada waktu arus dalam (deep current) bertemu dengan rintangan seperti mid-ocean ridge (suatu sistem ridge bagian tengah lautan) di mana arus tersebut dibelokkan ke atas dan selanjutnya air mengalir deras ke permukaan.
Gambar Upwelling Akibat Tikungan Tajam di Garis Pantai

b. Kedua, ketika dua massa air bergerak berdampingan, misalnya saat massa air yang di utara di bawah pengaruh gaya coriolis dan massa air di selatan ekuator bergerak ke selatan di bawah pengaruh gaya coriolis juga, keadaan tersebut akan menimbulkan “ruang kosong” pada lapisan di bawahnya. Kedalaman di mana massa air itu naik tergantung pada jumlah massa air permukaan yang bergerak ke sisi ruang kosong tersebut dengan kecepatan arusnya. Hal ini terjadi karena adanya divergensi pada perairan laut tersebut.
Gambar Upwelling Akibat Hembusan Angin

c.   Ketiga, upwelling dapat pula disebabkan oleh arus yang menjauhi pantai akibat tiupan angin darat yang terus-menerus selama beberapa waktu. Arus ini membawa massa air permukaan pantai ke laut lepas yang mengakibatkan ruang kosong di daerah pantai yang kemudian diisi dengan massa air di bawahnya.
Gambar Upwelling Akibat Adanya Penghalang Dasar Laut

       Meningkatnya produksi perikanan di suatu perairan dapat disebabkan karena terjadinya proses air naik (upwelling). Karena gerakan air naik ini membawa serta air yang suhunya lebih dingin, salinitas yang tinggi dan tak kalah pentingnya zat-zat hara yang kaya seperti fosfat dan nitrat naik ke permukaan.  (Nontji 1993).
Air laut di lapisan permukaan umumnya mempunyai suhu tinggi, salinitas, dan kandungan zat hara yang rendah. Sebaliknya pada lapisan yang lebih dalam air laut mempunyai suhu yang rendah, salinitas, dan kandungan zat hara yang lebih tinggi. Pada waktu terjadinya upwelling, akan terangkat massa air dari lapisan bawah dengan suhu rendah, salinitas, dan kandungan zat hara yang tinggi (Sverdurp 1942 vide Setiawan 1991; Reddy 1993). Keadaan ini mengakibatkan air laut di lapisan permukaan memiliki suhu rendah, salinitas, dan kandungan zat hara yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan massa air laut sebelum terjadinya proses upwelling ataupun massa air sekitarnya. Sebaran suhu, salinitas, dan zat hara secara vertikal maupun horizontal sangat membantu dalam menduga kemungkinan terjadinya upwelling di suatu perairan. Pola-pola sebaran oseanografi tersebut digunakan untuk mengetahui jarak vertikal yang ditempuh oleh massa air yang terangkat.

2.   Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah
1.       Untuk mengetahui pengaruh suhu permukaan laut terhadap daerah penangkapan ikan.
2.       Untuk mengetahui pengaruh Upwelling terhadap daerah penangkapan ikan.
3.       Untuk mengetahui suhu yang optimum dan dampak perubahan suhu.



II. PEMBAHASAN


2.1    Pengaruh Suhu Terhadap Daerah Penangkapan Ikan
Menurut Laevastu dan Hela (1970), pengaruh suhu terhadap ikan adalah dalam proses metabolisme, seperti pertumbuhan dan pengambilan makanan, aktivitas tubuh, seperti kecepatan renang, serta dalam rangsangan syaraf. Pengaruh suhu air pada tingkah laku ikan paling jelas terlihat selama pemijahan. Suhu air laut dapat mempercepat atau memperlambat mulainya pemijahan pada beberapa jenis ikan. Suhu air dan arus selama dan setelah pemijahan adalah faktor-faktor yang paling penting yang menentukan “kekuatan keturunan” dan daya tahan larva pada spesies-spesies ikan yang paling penting secara komersil. Suhu ekstrim pada daerah pemijahan (spawning ground) selama musim pemijahan dapat memaksa ikan untuk memijah di daerah lain dari pada di daerah tersebut.
Pengukuran suhu permukaan laut dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara langsung (in-situ) dan tidak langsung melalui teknologi penginderaan jauh (eks-situ). Pengamatan terhadap laut Indonesia yang luas lebih efektif dan efisien dilakukan secara eks-situ karena pengamatan in-situ akan membutuhkan biaya yang sangat tinggi, waktu yang lama, dan energi yang cukup banyak.
Organisme perairan seperti ikan maupun udang mampu hidup baik pada kisaran suhu 20-30°C. Perubahan suhu di bawah 20°C atau di atas 30°C menyebabkan ikan mengalami stres yang biasanya diikuti oleh menurunnya daya cerna (Trubus Edisi 425, 2005). Oksigen terlarut pada air yang ideal adalah 5-7 ppm. Jika kurang dari itu maka resiko kematian dari ikan akan semakin tinggi. Namun tidak semuanya seperti itu, ada juga beberapa ikan yang mampu hidup suhu yang sangat ekstrim.
Dari data satelit NOAA, contoh jenis ikan yang hidup pada suhu optimum 20-30°C adalah jenis ikan ikan pelagis. Karena keberadaan beberapa ikan pelagis pada suatu perairan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor oseanografi. Faktor oseanografis yang dominan adalah suhu perairan. Hal ini disebabkan karena pada umumnya setiap spesies ikan akan memilih suhu yang sesuai dengan lingkungannya untuk makan, memijah dan aktivitas lainnya. Seperti misalnya di daerah barat Sumatera, musim ikan cakalang di Perairan Siberut puncaknya pada musim timur dimana SPL 24-26°C, Perairan Sipora 25-27°C, Perairan Pagai Selatan 21-23°C.


2.2    Dampak Suhu Terhadap Ikan
Suhu berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan, mulai dari telur, benih sampai ukuran dewasa. Suhu air akan berpengaruh terhadap proses penetasan telur dan perkembangan telur. Rentang toleransi serta suhu optimum tempat pemeliharaan ikan berbeda untuk setiap jenis/spesies ikan, hingga pertumbuhan yang berbeda. Suhu memberikan dampak sebagai berikut terhadap ikan:
·     Suhu dapat mempengaruhi aktivitas makan ikan peningkatan suhu
·     Peningkatan aktivitas metabolisme ikan
·     Penurunan gas (oksigen) terlarut
·     Efek pada proses reproduksi ikan
·     Suhu ekstrim bisa menyebabkan kematian ikan. (Anonim 2009. SITH ITB)


2.3    Parameter Yang Mempengaruhi Keberadaan Ikan (Daerah Penangkapan) Suhu
Suhu adalah ukuran energi gerakan molekul. Di samudera, suhu bervariasi secara horizontal sesuai garis lintang dan juga secara vertikal sesuai dengan kedalaman. Suhu merupakan salah satu faktor yang penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. suhu merupakan parameter oseanografi yang mempunyai pengaruh sangat dominan terhadap kehidupan ikan khususnya dan sumber daya hayati laut pada umumnya. Hampir semua populasi ikan yang hidup di laut mempunyai suhu optimum untuk kehidupannya, maka dengan mengetahui suhu optimum dari suatu spesies ikan, kita dapat menduga keberadaan kelompok ikan, yang kemudian dapat digunakan untuk tujuan perikanan. Pengaruh suhu terhadap ikan adalah dalam proses metabolisme, seperti pertumbuhan dan pengambilan makanan, aktivitas tubuh, seperti kecepatan renang, serta dalam rangsangan syaraf sehingga ikan sangat peka terhadap perubahan suhu walau hanya sebesar 0,03°C.
Fishing ground yang paling baik biasanya terletak pada daerah batas antara dua arus atau di daerah upwelling dan divergensi. Batas arus (konvergensi dan divergensi) dan kondisi oseanografi dinamis yang lain (seperti eddies), berfungsi tidak hanya sebagai perbatasan distribusi lingkungan bagi ikan, tetapi juga menyebabkan pengumpulan ikan pada kondisi ini. Pengumpulan ikan-ikan yang penting secara komersil biasanya berada pada tengah-tengah arus eddies. Akumulasi plankton, telur ikan juga berada di tengah-tengah antisiklon eddies. Pengumpulan ini bisa berkaitan dengan pengumpulan ikan dewasa dalam arus eddies (Amirudin 1993).


2.4    Peningkatan Densitas Ikan Pelagis Pada Perairan Upwelling
Ketersediaan makanan yang cukup untuk larva dan ikan kecil dan besar. Termasuk ikan pelagis pemangsa seperti tuna yang bermigrasi ke dekat lokasi upwelling. Perairan upwelling  dicirikan dengan nilai suhu  permukaan laut yang rendah di bawah 28°C dan diikuti naiknya kandungan klorofil-a (0.8 - 2.0 mg/m3).
Pergerakan massa air yang disebabkan oleh perubahan iklim musiman (monsoon) juga berperan dalam penyebaran (migrasi) ikan terutama jenis pelagis. Wilayah yang di pengaruhi oleh fenomena ini adalah;
1.   Proses pelepasan material   (discharge)  yang beragam dari pantai ke laut merupakan fenomena oseanografi yang berpotensi dapat menurunkan kualitas air.
2.   Selanjutnya  di  khawatirkan akan mengganggu keseimbangan ekosistem pesisir serta penurunan potensi sumberdaya perikanan laut.
Gambar Ilustrasi Upwelling

2.4    Tipe Upwelling
a.   Coastal upwelling
Merupakan upwelling yang paling umum diketahui, karena membantu aktivitas manusia dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan.  Upwelling ini terjadi karena, efek coriolis yang membelokan angin kemudian permukaan laut akan terbawa oleh angin menjauhi pesisir, sehingga air laut dalam yang mengadung nutrien sangat tinggi, akan menggantikan air permukaan yang terbawa oleh angin.  Daerah yang sering terjadi coastal upwelling adalah pesisir Peru, Chili, Laut Arabia, Barat Daya Afrika, Timur New Zealand, Selatan Brazil, dan pesisir California.
b.   Equatorial Upwelling
Serupa dengan coastal upwelling namun, lokasi terjadi berada di daerah equator.
c.   Southern Ocean Upwelling
Upwelling yang disebabkan oleh angin yang berhembus dari barat bertiup ke arah timur di daerah sekitar Antartica membawa air dalam jumlah yang sangat besar ke arah utara.  Upwelling ini serupa dengan coastal upwelling, namun berbeda dalam lokasi, karena pada daerah selatan tidak ada benua atau daratan besar antara Amerika Selatan dan Antartika, sehingga upwelling ini membawa air dari daerah laut dalam.
d.   Tropical Cyclone Upwelling
Upwelling yang disebakan oleh tropical cyclone yang melewati area.  Biasanya hanya terjadi pada cyclone yang memiliki kecepatan 5 mph (8 km/h).
e.   Artificial Upwelling
Tipe upwelling, yang disebabkan oleh energi gelombang atau konversi dari energi suhu laut yang dipompakan ke permukaan.  Upwelling jenis ini yang menyebabkan blooming algae Secara ekologis, efek dari upwelling berbeda-beda, namun ada dua akibat yang utama;
a. Pertama, upwelling membawa air yang dingin dan kaya nutrien dari lapisan dalam, yang mendukung pertumbuhan seaweed dan blooming phytoplankton.  Blooming phytoplankton tersebut membentuk sumber energi bagi hewan-hewan laut yang lebih besar termasuk ikan laut,mamalia laut, serta burung laut.
b. Akibat kedua dari upwelling adalah pada pergerakan hewan.  Kebanyakan ikan laut dan invertebrata memproduksi larva mikroskopis yang melayang-layang di kolom air. Larva-larva tersebut melayang bersama air untuk beberapa minggu atau bulan tergantung spesiesnya.  Spesies dewasa yang hidup di dekat pantai, upwelling dapat memindahkan larvanya jauh dari habitat asli, sehingga mengurangi harapan hidupnya.  Upwelling memang dapat memberikan nutrien pada perairan pantai untuk produktifitas yang tinggi, namun juga dapat merampas larva ekosistem pantai yang diperlukan untuk mengisi kembali populasi pantai tersebut.
Sebaran suhu permukaan laut merupakan salah satu parameter yang dapat dipergunakan untuk mengetahui terjadinya proses upwelling di suatu perairan (Birowo dan Arief 1983). Dalam proses upwelling ini terjadi penurunan suhu permukaan laut dan tingginya kandungan zat hara dibandingkan daerah sekitarnya. Tingginya kadar zat hara tersebut merangsang perkembangan fitoplankton di permukaan. Karena perkembangan fitoplankton sangat erat kaitannya dengan tingkat kesuburan perairan, maka proses air naik selalu dihubungkan dengan meningkatnya produktivitas primer di suatu perairan dan selalu diikuti dengan meningkatnya populasi ikan di perairan tersebut (Pariwono et al. 1988).
Upwelling di perairan Indonesia dijumpai di Laut Banda, Laut Arafura, selatan Jawa hingga selatan Sumbawa, Selat Makasar, Selat Bali, dan diduga terjadi di Laut Maluku, Laut Halmahera, Barat Sumatra, serta di Laut Flores dan Teluk Bone (Nontji 1993). Upwelling berskala besar terjadi di selatan Jawa, sedangkan berskala kecil terjadi di Selat Bali dan Selat Makasar (Birowo dan Arief 1983). Menurut (Nontji 1993), upwelling di perairan Indonesia bersifat musiman terjadi pada Musim Timur (Mei-September), hal ini menunjukan adanya hubungan yang erat antara upwelling dan musim.



KESIMPULAN

Pengaruh suhu air pada tingkah laku ikan paling jelas terlihat selama pemijahan. Suhu air laut dapat mempercepat atau memperlambat mulainya pemijahan pada beberapa jenis ikan. Suhu air dan arus selama dan setelah pemijahan adalah faktor-faktor yang paling penting yang menentukan “kekuatan keturunan” dan daya tahan larva pada spesies-spesies ikan yang paling penting secara komersil.
Setiap jenis ikan bertoleransi dengan suhu air laut berbeda-beda sesuai dengan kebutuhannya. ikan yang hidup di laut mempunyai suhu optimum untuk kehidupannya, maka dengan mengetahui suhu optimum dari suatu spesies ikan, kita dapat menduga keberadaan kelompok ikan, yang kemudian dapat digunakan untuk tujuan perikanan.
Fishing ground yang paling baik biasanya terletak pada daerah batas antara dua arus atau di daerah upwelling dan divergensi. Perubahan suhu di bawah 20°C atau di atas 30°C menyebabkan ikan mengalami stres yang biasanya diikuti oleh menurunnya daya cerna (Trubus Edisi 425 2005). Oksigen terlarut pada air yang ideal adalah 5-7 ppm. Jika kurang dari itu maka resiko kematian dari ikan akan semakin tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad dan Asrori M. 2014. Metodologi dan Aplikasi Riset Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara.
Amirudin. 1993. Analisa Penangkapan Cakalang dengan Pole and Line di Perairan Teluk Bone dalam Hubungannya dengan Kondisi Oseanografi Fisika. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Anonim. 2009. Teknologi Pengelolaan Kualitas Air Kualitas Air Dan Pengukurannya. Tersedia online di:http://www.sith.itb.ac.id/d4_akuakultur_kultur_jaringan/bahan-kuliah/1_Teknologi_Pengelolaan_Kualitas_Air_KUALITAS_AIR_DAN_PENGUKURANNYA.pdf.   Online tanggal 28 Oktober 2010.
Ayodhyoa. 1975. Lokasi dan fasilitas pelabuhan perikanan. Bagian penangkapan ikan. Fakultas perikanan Institut pertanian Bogor. Bogor.
Elson L. 2012. Pemetaan Daerah Penangkapan Ikan dengan Metode Hidroakustik di Selat Malaka. [Skripsi]. Universitas Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Fuadi A, Musman M, Miswar E. 2016. Validasi Daerah Potensial Penangkapan Ikan Pelagis Kecil Menggunakan Purse Seine dengan citra Satelit di Perairan Pidie Jaya. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan dan Perikanan Unsyiah. 1(2):195-202.
Girsang H. 2008. Studi Penentuan Daerah Penangkapan Ikan Tongkol Melalui Pemetaan Penyebaran Klorofil-a dan Hasil Tangkapan di Palabuhanratu, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Laevastu T, dan Hela I. 1970. Fisheries Oceanography. Fishering News, London.
Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan. 360 hlm.
Nontji A. 1987. Nusantara. Jakarta: Djambatan. 368 hlm.
Nybakken JW. 1988. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. PT Gramedia. Jakarta.
Waluyo AS. 1993. Pengoperasian Alat Tangkap Purse Seine Tuna. Diklat AUP. Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERAN DISTRIK NAVIGASI DALAM KESELAMATAN PELAYARAN

A.   PENDAHULUAN Indonesia adalah negara maritim terbesar di dunia, yang memiliki 17.504 pulau yang membentang dari Sabang sampai Meraoke...