I.
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
1.1
Daerah Penangkapan
Ikan
Indonesia merupakan negara kepulauan
yang terdiri dari 16.777 pulau dan
hampir dua pertiga bagiannya terdiri dari lautan, serta mempunyai garis pantai
sepanjang 95.181 km. Maka tidak salah jika dari dahulu Indonesia dikenal
sebagai bangsa pelaut. Semenjak berakhirnya pemerintahan orde baru, maka
pemerintah telah mencanangkan kebijakan pembangunan strategis yang diarahkan
kepada pembangunan sumber daya pesisir dan laut. Alasan pokok kebijakan
tersebut diantaranya: Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia,
luas laut sekitar 3,1 juta km atau 62% dari luas teritorialnya. Semakin meningkatnya
pembanguanan dan jumlah penduduk serta semakin menipisnya sumberdaya alam di
daratan. Pergeseran konsentrasi kegiatan ekonomi global dari poros
Eropa-Atlantik mejadi poros Asia Pasifik yang diikuti perdagangan bebas dunia
pada tahun 2020, menjadikan kekayaan
laut indoneisa menjadi aset nasional.
Daerah penangkapan ikan adalah suatu
daerah perairan tempat ikan berkumpul, dimana penangkapan ikan dapat dilakukan
dengan baik dengan ciri-ciri tempat tersebut adalah tempat pelaksanaan
aktivitas penangkapan dan terdapat gerombolan ikan yang layak di tangkap dan
juga harganya yang ekonomis tinggi (Waluyo 1993).
Kebiasaan nelayan dalam menentukan daerah
penangkapan ikan selalu dengan menduga dan pada umumnya nelayan dalam mencari
gerombolan ikan (schooling fish)
membutuhkan waktu yang sangat lama dan belum tentu mendapatkan hasil tangkapan,
karena nelayan hanya menggunakan pendugaan sehingga tidak efektif untuk
mendapatkan hasil tangkapan, salah satu faktor penentuan keberhasilan
penangkapan ikan adalah dengan ketepatan dalam menentukan suatu daerah
penangkapan ikan. Mereka belum mampu membuat rencana operasi penangkapan ikan
akibat perubahan oseanografi atau cuaca yang sangat mempengaruhi perubahan
potensi penangkapan ikan yang dapat berubah-ubah (Fuadi et al. 2016).
Keberadaan ikan di suatu perairan bersifat
dinamis, selalu berubah atau berpindah mengikuti pergerakan kondisi lingkungan,
yang secara alamiah ikan akan memilih habitat yang lebih sesuai. Sedangkan
habitat tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi atau parameter oseanografi
perairan seperti suhu permukaan laut, salinitas, konsentrasi klorofil-a, cuaca
dan sebagainya (Girsang 2008).
Pemanfaatan
sumberdaya ikan memerlukan informasi yang tepat. Ketersediaan informasi
mengenai sumberdaya ikan tersebut sangat penting peranannya dalam pembangunan
sektor perikanan, khususnya dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya
perikanan tangkap. Informasi mengenai ketersediaan sumberdaya ikan pada suatu
perairan memerlukan data yang dapat memberikan hasil yang lebih akurat, sehingga
informasi tersebut dapat memberikan gambaran mengenai keberadaan sumberdaya
ikan yang mendekati keadaan yang sebenarnya (Elson 2012).
1.2
Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor yang
penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. Proses
kehidupan yang vital yang secara kolektif disebut metabolisme, hanya berfungsi
didalam kisaran suhu yang relatif sempit biasanya antara 0-40°C, meskipun
demikian bebarapa beberapa ganggang hijau biru mampu mentolerir suhu sampai
85°C. Selain itu, suhu juga sangat
penting bagi kehidupan organisme di perairan, karena suhu mempengaruhi baik
aktivitas maupun perkembangbiakan dari organisme tersebut. Oleh karena itu,
tidak heran jika banyak dijumpai bermacam-macam jenis ikan yang terdapat di
berbagai tempat di dunia yang mempunyai toleransi tertentu terhadap suhu. Ada
yang mempunyai toleransi yang besar terhadap perubahan suhu, disebut bersifat
euryterm. Sebaliknya ada pula yang toleransinya kecil, disebut bersifat
stenoterm. Sebagai contoh ikan di daerah sub-tropis dan kutub mampu mentolerir
suhu yang rendah, sedangkan ikan di daerah tropis menyukai suhu yang hangat.
Suhu optimum dibutuhkan oleh ikan untuk pertumbuhannya. Ikan yang berada pada
suhu yang cocok, memiliki selera makan yang lebih baik.
Menurut Ali 2014, suhu merupakan parameter
yang penting dalam penentuan energi panas atau bahang (heat), sedangkan suhu perairan mempengaruhi banyak siklus kehidupan
di laut. Ikan-ikan yang melakukan spawning,
feeding,
dan nursing juga dipengaruhi oleh
suhu yang ada di suatu perairan. Suhu perairan juga dapat mempengaruhi
fenomena-fenomena alam yang ada di laut dan mempengaruhi suatu iklim secara
global. Pengaruh suhu permukaan laut tersebut ada yang menjadikan lokasi
perairan tersebut menjadi subur dan ada juga menjadi tercemar. Manfaat suhu
permukaan laut untuk mengetahui gejala fisik, hubungan kehidupan hewan dan
tumbuhan, dan bahkan pengkajian meteorologi. Pengaruh suhu permukaan laut yaitu
kecepatan makan ikan, penyebaran ikan, arah ruaya, metabolisme pertumbuhan serta
kelimpahan ikan.
Sesuai apa yg dikatakan Nybakken pada
tahun 1988 bahwa Sebagian besar organisme laut bersifat poikilotermik (suhu
tubuh sangat dipengaruhi suhu massa air sekitarnya), oleh karenanya pola
penyebaran organisme laut sangat mengikuti perbedaan suhu laut secara
geografik. Berdasarkan penyebaran suhu permukaan laut dan penyebaran organisme
secara keseluruhan maka dapat dibedakan menjadi 4 zona biogeografik utama
yaitu:
· Kutub,
· Tropic,
· Beriklim sedang
panas dan
· Beriklim sedang
dingin
Terdapat
pula zona peralihan antara daerah-daerah ini, tetapi tidak mutlak karena
pembatasannya dapat agak berubah sesuai dengan musim. Organisme perairan
seperti ikan maupun udang mampu hidup baik pada kisaran suhu 20-30°C. Perubahan
suhu di bawah 20°C atau di atas 30°C menyebabkan ikan mengalami stres yang
biasanya diikuti oleh menurunnya daya cerna (Trubus Edisi 425 2005).
Menurut Hela dan Leavestu (1970), suhu
merupakan faktor penting untuk menetukan penilaian suatu daerah penangkapan
ikan (fishing ground), dimana hal tersebut tidak hanya ditentukan oleh suhu
semata, akan tetapi juga oleh perubahan suhu. Fluktuasi suhu dan perubahan
geografis merupakan faktor penting dalam merangsang dan menentukan
pengkonsetrasian gerombolan ikan. Suhu memegang peranan dalam penentuan
daerah penangkapan ikan (Gunarso 1996).
SST dapat di deteksi dengan alat pengindera suhu yaitu sensor infra merah
termal. Lokasi upwelling dapat di deteksi
oleh alat pengindera suhu karena massa air tersebut mempunyai suhu yang lebih
dingin, sehingga suhu permukaan akan menjadi lebih dingin dibandingkan dengan
suhu air di sekitarnya.
Parameter-parameter oseanografi yang ada
di laut dapat diperoleh dengan cara pengukuran langsung, survey lapangan atau
dengan menggunakan citra satelit penginderaan jauh. Parameter tersebut dapat
digunakan ketika satelit melewati perairan Indonesia, informasi daerah yang
diduga terdapat ikan yang dapat diketahui. Informasi tersebut dapat digunakan
oleh nelayan dalam kegiatan penangkapan ikan, sehingga penangkapan ikan menjadi
lebih efesien dan efektif apabila daerah penangkapan (fishing ground) gerombolan ikan dapat diduga terlebih dahulu
sebelum berangkat ke laut untuk menangkap ikan.
Suhu berpengaruh terhadap kelangsungan
hidup ikan, mulai dari telur, benih sampai ukuran dewasa. Suhu air akan
berpengaruh terhadap proses penetasan telur dan perkembangan telur. Rentang
toleransi serta suhu optimum tempat pemeliharaan ikan berbeda untuk setiap
jenis/spesies ikan. Suhu memberikan dampak sebagai berikut terhadap ikan :
· Suhu dapat
mempengaruhi aktivitas makan ikan peningkatan suhu
· Peningkatan
aktivitas metabolisme ikan
· Penurunan
gas (oksigen) terlarut
· Efek
pada proses reproduksi ikan
· Suhu
ekstrim bisa menyebabkan kematian ikan
Distribusi
suhu secara horizontal dan vertikal mempengaruhi periode pemijahan, kemampuan
perkembangan telur-telur dan larva serta ketersediaan makanan dan lapisan
renang ikan (swimming layer).
Perubahan suhu musiman pada suatu perairan, selain disebabkan oleh pengaruh
pemanasan bumi dari penyinaran matahari, disebabkan pula oleh arus permukaan,
keadaan liputan awan, pertukaran massa air secara horizontal, vertikal maupun
karena peristiwa upwelling.
1.3
Upwelling
Upwelling
adalah penaikan massa air laut dari suatu lapisan dalam ke lapisan permukaan.
Gerakan naik ini membawa serta air yang suhunya lebih dingin, salinitas tinggi,
dan zat-zat hara yang kaya ke permukaan (Nontji 1993). Menurut Barnes (1988),
proses upwelling ini dapat terjadi
dalam tiga bentuk yaitu :
a. Pertama,
pada waktu arus dalam (deep current)
bertemu dengan rintangan seperti mid-ocean
ridge (suatu sistem ridge bagian tengah lautan) di mana arus tersebut
dibelokkan ke atas dan selanjutnya air mengalir deras ke permukaan.
Gambar Upwelling
Akibat Tikungan Tajam di Garis Pantai
b. Kedua,
ketika dua massa air bergerak berdampingan, misalnya saat massa air yang di
utara di bawah pengaruh gaya coriolis
dan massa air di selatan ekuator bergerak ke selatan di bawah pengaruh gaya
coriolis juga, keadaan tersebut akan menimbulkan “ruang kosong” pada lapisan di
bawahnya. Kedalaman di mana massa air itu naik tergantung pada jumlah massa air
permukaan yang bergerak ke sisi ruang kosong tersebut dengan kecepatan arusnya.
Hal ini terjadi karena adanya divergensi pada perairan laut tersebut.
Gambar
Upwelling Akibat Hembusan Angin
c. Ketiga,
upwelling dapat pula disebabkan oleh
arus yang menjauhi pantai akibat tiupan angin darat yang terus-menerus selama
beberapa waktu. Arus ini membawa massa air permukaan pantai ke laut lepas yang
mengakibatkan ruang kosong di daerah pantai yang kemudian diisi dengan massa
air di bawahnya.
Gambar Upwelling Akibat Adanya Penghalang Dasar
Laut
Meningkatnya produksi perikanan di suatu
perairan dapat disebabkan karena terjadinya proses air naik (upwelling). Karena gerakan air naik ini
membawa serta air yang suhunya lebih dingin, salinitas yang tinggi dan tak
kalah pentingnya zat-zat hara yang kaya seperti fosfat dan nitrat naik ke
permukaan. (Nontji 1993).
Air
laut di lapisan permukaan umumnya mempunyai suhu tinggi, salinitas, dan
kandungan zat hara yang rendah. Sebaliknya pada lapisan yang lebih dalam air
laut mempunyai suhu yang rendah, salinitas, dan kandungan zat hara yang lebih
tinggi. Pada waktu terjadinya upwelling, akan terangkat massa air dari lapisan
bawah dengan suhu rendah, salinitas, dan kandungan zat hara yang tinggi
(Sverdurp 1942 vide Setiawan 1991; Reddy 1993). Keadaan ini mengakibatkan air
laut di lapisan permukaan memiliki suhu rendah, salinitas, dan kandungan zat
hara yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan massa air laut sebelum terjadinya
proses upwelling ataupun massa air sekitarnya. Sebaran suhu, salinitas, dan zat
hara secara vertikal maupun horizontal sangat membantu dalam menduga
kemungkinan terjadinya upwelling di suatu perairan. Pola-pola sebaran
oseanografi tersebut digunakan untuk mengetahui jarak vertikal yang ditempuh
oleh massa air yang terangkat.
2.
Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah
1. Untuk
mengetahui pengaruh suhu permukaan laut terhadap daerah penangkapan ikan.
2. Untuk
mengetahui pengaruh Upwelling terhadap
daerah penangkapan ikan.
3. Untuk
mengetahui suhu yang optimum dan dampak perubahan suhu.
II. PEMBAHASAN
2.1
Pengaruh
Suhu Terhadap Daerah Penangkapan Ikan
Menurut Laevastu dan Hela (1970), pengaruh
suhu terhadap ikan adalah dalam proses metabolisme, seperti pertumbuhan dan
pengambilan makanan, aktivitas tubuh, seperti kecepatan renang, serta dalam
rangsangan syaraf. Pengaruh suhu air pada tingkah laku ikan paling jelas
terlihat selama pemijahan. Suhu air laut dapat mempercepat atau memperlambat
mulainya pemijahan pada beberapa jenis ikan. Suhu air dan arus selama dan
setelah pemijahan adalah faktor-faktor yang paling penting yang menentukan
“kekuatan keturunan” dan daya tahan larva pada spesies-spesies ikan yang paling
penting secara komersil. Suhu ekstrim pada daerah pemijahan (spawning ground) selama musim pemijahan
dapat memaksa ikan untuk memijah di daerah lain dari pada di daerah tersebut.
Pengukuran suhu permukaan laut dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu secara langsung (in-situ) dan tidak langsung melalui teknologi penginderaan jauh (eks-situ). Pengamatan terhadap laut
Indonesia yang luas lebih efektif dan efisien dilakukan secara eks-situ karena pengamatan in-situ akan membutuhkan biaya yang
sangat tinggi, waktu yang lama, dan energi yang cukup banyak.
Organisme perairan seperti ikan maupun
udang mampu hidup baik pada kisaran suhu 20-30°C. Perubahan suhu di bawah 20°C
atau di atas 30°C menyebabkan ikan mengalami stres yang biasanya diikuti oleh
menurunnya daya cerna (Trubus Edisi 425, 2005). Oksigen terlarut pada air yang
ideal adalah 5-7 ppm. Jika kurang dari itu maka resiko kematian dari ikan akan
semakin tinggi. Namun tidak semuanya seperti itu, ada juga beberapa ikan yang
mampu hidup suhu yang sangat ekstrim.
Dari
data satelit NOAA, contoh jenis ikan yang hidup pada suhu optimum 20-30°C
adalah jenis ikan ikan pelagis. Karena keberadaan beberapa ikan pelagis pada
suatu perairan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor oseanografi. Faktor
oseanografis yang dominan adalah suhu perairan. Hal ini disebabkan karena pada
umumnya setiap spesies ikan akan memilih suhu yang sesuai dengan lingkungannya
untuk makan, memijah dan aktivitas lainnya. Seperti misalnya di daerah barat
Sumatera, musim ikan cakalang di Perairan Siberut puncaknya pada musim timur
dimana SPL 24-26°C, Perairan Sipora 25-27°C, Perairan Pagai Selatan 21-23°C.
2.2
Dampak
Suhu Terhadap Ikan
Suhu berpengaruh terhadap kelangsungan
hidup ikan, mulai dari telur, benih sampai ukuran dewasa. Suhu air akan
berpengaruh terhadap proses penetasan telur dan perkembangan telur. Rentang
toleransi serta suhu optimum tempat pemeliharaan ikan berbeda untuk setiap
jenis/spesies ikan, hingga pertumbuhan yang berbeda. Suhu memberikan
dampak sebagai berikut terhadap ikan:
· Suhu dapat
mempengaruhi aktivitas makan ikan peningkatan suhu
· Peningkatan
aktivitas metabolisme ikan
· Penurunan gas
(oksigen) terlarut
· Efek pada proses
reproduksi ikan
· Suhu ekstrim bisa
menyebabkan kematian ikan. (Anonim 2009. SITH ITB)
2.3
Parameter Yang
Mempengaruhi Keberadaan Ikan (Daerah Penangkapan) Suhu
Suhu adalah ukuran energi gerakan molekul.
Di samudera, suhu bervariasi secara horizontal sesuai garis lintang dan juga
secara vertikal sesuai dengan kedalaman. Suhu merupakan salah satu faktor yang
penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. suhu
merupakan parameter oseanografi yang mempunyai pengaruh sangat dominan terhadap
kehidupan ikan khususnya dan sumber daya hayati laut pada umumnya. Hampir semua
populasi ikan yang hidup di laut mempunyai suhu optimum untuk kehidupannya,
maka dengan mengetahui suhu optimum dari suatu spesies ikan, kita dapat menduga
keberadaan kelompok ikan, yang kemudian dapat digunakan untuk tujuan perikanan.
Pengaruh suhu terhadap ikan adalah dalam proses metabolisme, seperti
pertumbuhan dan pengambilan makanan, aktivitas tubuh, seperti kecepatan renang,
serta dalam rangsangan syaraf sehingga ikan sangat peka terhadap perubahan suhu
walau hanya sebesar 0,03°C.
Fishing
ground yang paling baik biasanya terletak pada daerah batas antara dua arus
atau di daerah upwelling dan divergensi. Batas arus (konvergensi dan
divergensi) dan kondisi oseanografi dinamis yang lain (seperti eddies),
berfungsi tidak hanya sebagai perbatasan distribusi lingkungan bagi ikan,
tetapi juga menyebabkan pengumpulan ikan pada kondisi ini. Pengumpulan
ikan-ikan yang penting secara komersil biasanya berada pada tengah-tengah arus
eddies. Akumulasi plankton, telur ikan juga berada di tengah-tengah antisiklon
eddies. Pengumpulan ini bisa berkaitan dengan pengumpulan ikan dewasa dalam
arus eddies (Amirudin 1993).
2.4
Peningkatan
Densitas Ikan Pelagis Pada Perairan Upwelling
Ketersediaan makanan yang cukup untuk
larva dan ikan kecil dan besar. Termasuk ikan pelagis pemangsa seperti tuna
yang bermigrasi ke dekat lokasi upwelling. Perairan upwelling dicirikan dengan nilai suhu permukaan laut yang rendah di bawah 28°C
dan diikuti naiknya kandungan klorofil-a (0.8 - 2.0 mg/m3).
Pergerakan massa air yang disebabkan oleh
perubahan iklim musiman (monsoon)
juga berperan dalam penyebaran (migrasi) ikan terutama jenis pelagis. Wilayah
yang di pengaruhi oleh fenomena ini adalah;
1. Proses
pelepasan material (discharge) yang beragam dari pantai ke laut merupakan
fenomena oseanografi yang berpotensi dapat menurunkan kualitas air.
2. Selanjutnya di
khawatirkan akan mengganggu keseimbangan ekosistem pesisir serta
penurunan potensi sumberdaya perikanan laut.
Gambar Ilustrasi Upwelling
2.4
Tipe
Upwelling
a. Coastal
upwelling
Merupakan
upwelling yang paling umum diketahui, karena membantu aktivitas manusia dalam
melakukan kegiatan penangkapan ikan.
Upwelling ini terjadi karena, efek coriolis
yang membelokan angin kemudian permukaan laut akan terbawa oleh angin menjauhi
pesisir, sehingga air laut dalam yang mengadung nutrien sangat tinggi, akan
menggantikan air permukaan yang terbawa oleh angin. Daerah yang sering terjadi coastal upwelling
adalah pesisir Peru, Chili, Laut Arabia, Barat Daya Afrika, Timur New Zealand,
Selatan Brazil, dan pesisir California.
b.
Equatorial
Upwelling
Serupa
dengan coastal upwelling namun,
lokasi terjadi berada di daerah equator.
c.
Southern
Ocean Upwelling
Upwelling
yang disebabkan oleh angin yang berhembus dari barat bertiup ke arah timur di
daerah sekitar Antartica membawa air dalam jumlah yang sangat besar ke arah
utara. Upwelling ini serupa dengan coastal
upwelling, namun berbeda dalam lokasi, karena pada daerah selatan tidak ada
benua atau daratan besar antara Amerika Selatan dan Antartika, sehingga
upwelling ini membawa air dari daerah laut dalam.
d.
Tropical
Cyclone Upwelling
Upwelling
yang disebakan oleh tropical cyclone
yang melewati area. Biasanya hanya
terjadi pada cyclone yang memiliki
kecepatan 5 mph (8 km/h).
e.
Artificial
Upwelling
Tipe upwelling,
yang disebabkan oleh energi gelombang atau konversi dari energi suhu laut yang
dipompakan ke permukaan. Upwelling jenis ini yang menyebabkan blooming algae Secara ekologis, efek
dari upwelling berbeda-beda, namun
ada dua akibat yang utama;
a. Pertama,
upwelling membawa air yang dingin dan
kaya nutrien dari lapisan dalam, yang mendukung pertumbuhan seaweed dan
blooming phytoplankton. Blooming phytoplankton tersebut
membentuk sumber energi bagi hewan-hewan laut yang lebih besar termasuk ikan
laut,mamalia laut, serta burung laut.
b. Akibat
kedua dari upwelling adalah pada pergerakan hewan. Kebanyakan ikan laut dan invertebrata
memproduksi larva mikroskopis yang melayang-layang di kolom air. Larva-larva
tersebut melayang bersama air untuk beberapa minggu atau bulan tergantung
spesiesnya. Spesies dewasa yang hidup di
dekat pantai, upwelling dapat memindahkan larvanya jauh dari habitat asli,
sehingga mengurangi harapan hidupnya. Upwelling memang dapat memberikan
nutrien pada perairan pantai untuk produktifitas yang tinggi, namun juga dapat
merampas larva ekosistem pantai yang diperlukan untuk mengisi kembali populasi
pantai tersebut.
Sebaran suhu permukaan laut merupakan
salah satu parameter yang dapat dipergunakan untuk mengetahui terjadinya proses
upwelling di suatu perairan (Birowo dan Arief 1983). Dalam proses upwelling
ini terjadi penurunan suhu permukaan laut dan tingginya kandungan zat hara
dibandingkan daerah sekitarnya. Tingginya kadar zat hara tersebut merangsang
perkembangan fitoplankton di permukaan. Karena perkembangan fitoplankton sangat
erat kaitannya dengan tingkat kesuburan perairan, maka proses air naik selalu
dihubungkan dengan meningkatnya produktivitas primer di suatu perairan dan
selalu diikuti dengan meningkatnya populasi ikan di perairan tersebut (Pariwono
et al. 1988).
Upwelling
di perairan Indonesia dijumpai di Laut Banda, Laut Arafura, selatan Jawa hingga
selatan Sumbawa, Selat Makasar, Selat Bali, dan diduga terjadi di Laut Maluku,
Laut Halmahera, Barat Sumatra, serta di Laut Flores dan Teluk Bone (Nontji 1993). Upwelling berskala besar terjadi di selatan Jawa, sedangkan berskala
kecil terjadi di Selat Bali dan Selat Makasar (Birowo dan Arief 1983). Menurut
(Nontji 1993), upwelling di perairan Indonesia bersifat musiman terjadi pada
Musim Timur (Mei-September), hal ini menunjukan adanya hubungan yang erat
antara upwelling dan musim.
KESIMPULAN
Pengaruh
suhu air pada tingkah laku ikan paling jelas terlihat selama pemijahan. Suhu
air laut dapat mempercepat atau memperlambat mulainya pemijahan pada beberapa
jenis ikan. Suhu air dan arus selama dan setelah pemijahan adalah faktor-faktor
yang paling penting yang menentukan “kekuatan keturunan” dan daya tahan larva
pada spesies-spesies ikan yang paling penting secara komersil.
Setiap
jenis ikan bertoleransi dengan suhu air laut berbeda-beda sesuai dengan
kebutuhannya. ikan yang hidup di laut mempunyai suhu optimum untuk
kehidupannya, maka dengan mengetahui suhu optimum dari suatu spesies ikan, kita
dapat menduga keberadaan kelompok ikan, yang kemudian dapat digunakan untuk
tujuan perikanan.
Fishing ground yang
paling baik biasanya terletak pada daerah batas antara dua arus atau di daerah
upwelling dan divergensi. Perubahan suhu di bawah 20°C atau di atas 30°C
menyebabkan ikan mengalami stres yang biasanya diikuti oleh menurunnya daya
cerna (Trubus Edisi 425 2005). Oksigen terlarut pada air yang ideal adalah 5-7
ppm. Jika kurang dari itu maka resiko kematian dari ikan akan semakin tinggi.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali,
Mohammad dan Asrori M. 2014. Metodologi dan Aplikasi Riset Pendidikan.
Jakarta : Bumi Aksara.
Amirudin. 1993. Analisa Penangkapan Cakalang dengan Pole and Line di Perairan Teluk Bone
dalam Hubungannya dengan Kondisi Oseanografi Fisika. Fakultas Perikanan
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Anonim. 2009. Teknologi Pengelolaan Kualitas Air Kualitas Air Dan Pengukurannya.
Tersedia online di:http://www.sith.itb.ac.id/d4_akuakultur_kultur_jaringan/bahan-kuliah/1_Teknologi_Pengelolaan_Kualitas_Air_KUALITAS_AIR_DAN_PENGUKURANNYA.pdf. Online tanggal 28 Oktober 2010.
Ayodhyoa.
1975. Lokasi dan fasilitas pelabuhan perikanan. Bagian penangkapan ikan.
Fakultas perikanan Institut pertanian Bogor. Bogor.
Elson
L. 2012. Pemetaan Daerah Penangkapan Ikan dengan Metode Hidroakustik di Selat
Malaka. [Skripsi]. Universitas Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Fuadi A, Musman M, Miswar E. 2016. Validasi Daerah Potensial Penangkapan Ikan Pelagis Kecil Menggunakan Purse Seine dengan citra Satelit di Perairan Pidie Jaya. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan dan Perikanan Unsyiah. 1(2):195-202.
Girsang
H. 2008. Studi Penentuan Daerah Penangkapan Ikan Tongkol Melalui Pemetaan
Penyebaran Klorofil-a dan Hasil Tangkapan di Palabuhanratu, Jawa Barat
[Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Laevastu
T, dan Hela I. 1970. Fisheries Oceanography. Fishering News, London.
Nontji
A. 1993. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan. 360 hlm.
Nontji
A. 1987. Nusantara. Jakarta: Djambatan. 368 hlm.
Nybakken JW. 1988. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. PT Gramedia. Jakarta.
Waluyo AS. 1993. Pengoperasian Alat Tangkap Purse Seine Tuna. Diklat AUP. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar