BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Bangsa Indonesia seharusnya dapat menghargai dan mensyukuri suatu
anugerah yang sangat besar, yaitu hidup dalam suatu Negara Kepulauan yang
merupakan wilayah sepanjang 3.000 mil laut berupa hamparan laut luas dari
Merauke sampai Sabang. Dengan jumlah
pulau lebih dari 17.500 meliputi wilayah laut yurisdiksi nasional lebih kurang
5,8 juta km2, Indonesia adalah Negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia
terletak pada posisi yang sangat strategis, yaitu pada persilangan dua benua
dan dua samudera, serta memiliki wilayah laut yang memiliki kekayaan laut yang
besar, sekaligus sebagai urat nadi perdagangan dunia. Posisi Indonesia yang
sangat strategis tersebut memberikan konsekuensi bagi bangsa Indonesia yaitu
untuk menjalankan aturan sebagaimana yang termaktub dalam United Nation
Convention on the Law of the Sea 1982.
Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1982 dengan
mengukuhkannya ke dalam UU RI No 17 tahun 1985, sehingga telah resmi
mempunyai hak dan kewajiban mengatur, mengelola, dan memanfaatkan kekayaan laut
nasional untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Geografi Indonesia yang
sangat bersifat kelautan, seharusnya membuat Bangsa Indonesia terus
mengembangkan tradisi, budaya dan kesadaran bahari serta menjadikan laut sebagai
tali kehidupannya. Namun, Indonesia juga wajib memperhatikan kepentingan dunia internasional
terutama dalam menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran internasional dalam
wilayah kedaulatan dan wilayah berdaulatnya. Kewajiban ini tersurat dalam pasal-pasal
UNCLOS 1982, serta tidak kalah pentingnya, merupakan salah satu tujuan nasional
seperti termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang antara lain
berbunyi:…… ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.
Dengan latar belakang demikian, cukup jelas terlihat bahwa aspek
alamiah geografi Indonesia (bentuk dan posisinya), kekayaan alamnya dan
demografinya sangat menentukan kebijakan pembangunan nasional Indonesia.
1.2
Tujuan
1.
Memahami kebijakan pembangunan
perikanan
2.
Mengetahui sejarah kebijakan
pembangunan perikanan dan kelautan
3.
Memahami perumusan suatu kebijakan
4.
Mengetahui strategi dan kebijakan
perikanan
5.
Mengetahui blue economy sebagai
salah satu kebijakan pemerintah dalam pembangunan perikanan dan kelautan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian kebijakan pembangunan perikanan
Kebijakan (policy) merupakan
sebuah instrumen pemerintahan, bukan saja dalam arti government yang
hanya menyangkut aparatur negara, melainkan pula governance yang
menyentuh berbagai bentuk kelembagaan, baik swasta, dunia usaha maupun masyarakat
madani (civil society). Inti dari suatu kebijakan mencakup
keputusankeputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung
mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumberdaya alam, finansial, dan
manusia demi kepentingan publik, yakni rakyat banyak, penduduk,
masyarakat atau warga negara.
Dalam hal ini, kebijakan
merupakan hasil dari adanya sinergi kepentingan-kepentingan yang mewakili sistem
politik suatu negara. Dengan demikian pada intinya kebijakan adalah seperangkat
tindakan pemerintah yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu, tetapi
bukan hanya dikonotasikan sebagai domain pemerintah saja. Untuk
memperjelas batasan pengertiannya, suatu kebijakan sedikitnya mencakup hal-hal
sebagai berikut. Pertama, bidang kegiatan sebagai ekspresi dari tujuan
umum atau pernyataan-pernyataan yang ingin dicapai. Kedua,
rencana tertentu yang mencerminkan keputusan-keputusan pemerintah yang
telah terpilih. Ketiga, kewenangan formal seperti undang-undang
atau peraturan pemerintah. Keempat, program dengan seperangkat
kegiatan yang mencakup rencana sumberdaya lembaga dan strategi
pencapaian tujuan. Kelima, keluaran (output), yaitu apa yang
nyata telah disediakan oleh pemerintah, sebagai produk dari kegiatan
tertentu. Keenam, justifikasi teoretis yang menjelaskan bahwa
jika kita melakukan aktivitas X, maka akan diikuti oleh Y. Ketujuh,
proses yang berlangsung dalam periode waktu tertentu yang relative panjang.
Pembangunan (development)
adalah proses perubahan yang mencakup seluruh system sosial, seperti politik,
ekonomi, infrastruktur, pertahanan, pendidikan dan teknologi, kelembagaan, dan
budaya (Alexander 1994). Portes (1976) mendefenisiskan pembangunan sebagai
transformasi ekonomi, sosial dan budaya. Pembangunan adalah proses perubahan
yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Kebijakan pembangunan perikanan adalah serangkaian tindakan yang telah, sedang
dan akan dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu yang sudah
direncanakan.
2.2 Sejarah
Pembangunan Perikanan dan Kelautan di Indonesia
Sejarah menunjukkan bahwa pada masa lalu, Indonesia memiliki
pengaruh yang sangat dominan di wilayah Asia Tenggara, terutama melalui kekuatan
maritim besar di bawah Kerajaan Sriwijaya dan kemudian Majapahit. Wilayah laut
Indonesia yang merupakan dua pertiga wilayah Nusantara mengakibatkan sejak masa
lampau, Nusantara diwarnai dengan berbagai pergumulan kehidupan di laut. Dalam
catatan sejarah terekam bukti-bukti bahwa nenek moyang bangsa Indonesia
menguasai lautan Nusantara, bahkan mampu mengarungi samudera luas hingga ke
pesisir Madagaskar, Afrika Selatan.
Penguasaan lautan oleh nenek moyang kita, baik di masa kejayaan
Kerajaan Sriwijaya, Majapahit maupun kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar, lebih
merupakan penguasaan de facto daripada penguasaan atas suatu konsepsi
kewilayahan dan hukum. Namun, sejarah telah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia
yang mencintai laut sejak dahulu merupakan masyarakat bahari. Akan tetapi, oleh
penjajah kolonial, bangsa Indonesia didesak ke darat, yang mengakibatkan
menurunnya jiwa bahari.
Nenek moyang bangsa Indonesia telah memahami dan menghayati arti
dan kegunaan laut sebagai sarana untuk menjamin berbagai kepentingan
antarbangsa, seperti perdagangan dan komunikasi.
Pada sekitar abad ke-14 dan permulaan abad ke-15 terdapat lima
jaringan perdagangan (commercial zones). Pertama, jaringan perdagangan
Teluk Bengal, yang meliputi pesisir Koromandel di India Selatan, Sri Lanka,
Burma (Myanmar), serta pesisir utara dan barat Sumatera. Kedua, jaringan
perdagangan Selat Malaka. Ketiga, jaringan perdagangan yang meliputi pesisir
timur Semenanjung Malaka, Thailand, dan Vietnam Selatan. Jaringan ini juga
dikenal sebagai jaringan perdagangan Laut Cina Selatan. Keempat, jaringan
perdagangan Laut Sulu, yang meliputi pesisir barat Luzon, Mindoro, Cebu,
Mindanao, dan pesisir utara Kalimantan (Brunei Darussalam). Kelima, jaringan
Laut Jawa, yangmeliputi kepulauan Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, pesisir
baratKalimantan, Jawa, dan bagian selatan Sumatera. Jaringan perdagangan ini
berada di bawah hegemoni Kerajaan Majapahit
Banyak bukti prasejarah di pulau Muna, Seram dan Arguni yang
diperkirakan merupakan hasil budaya manusia sekitar tahun 10.000 sebelum
masehi! Bukti sejarah tersebut berupa gua yang dipenuhi lukisan perahu layar.
Ada pula peninggalan sejarah sebelum masehi berupa bekas kerajaan Marina yang
didirikan perantau dari Nusantara yang ditemukan di wilayah Madagaskar. Tentu
pengaruh dan kekuasaan tersebut dapat diperoleh bangsa Indonesia waktu itu
karena kemampuan membangun kapal dan armada yang layak laut, bahkan mampu
berlayar sampai lebih dari 4.000 mil.
Selain Sriwijaya dan bahkan sebelum Majapahit, Kerajaan Singosari
juga memiliki armada laut yang kuat dan mengadakan hubungan dagang secara
intensif dengan wilayah sekitarnya. Kita mengetahui strategi besar Majapahit
mempersatukan wilayah Indonesia melalui Sumpah Amukti Palapa dari Mahapatih
Gajah Mada. Kerajaan Majapahit telah banyak mengilhami pengembangan dan
perkembangan nilai-nilai luhur kebudayaan Bangsa Indonesia sebagai manifestasi
sebuah bangsa bahari yang besar.
Sayangnya, setelah mencapai kejayaan budaya bahari, Indonesia
terus mengalami kemunduran, terutama setelah masuknya VOC dan kekuasaan
kolonial Belanda ke Indonesia. Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 antara
Belanda dengan Raja Surakarta dan Yogyakarta mengakibatkan kedua raja tersebut
harus menyerahkan perdagangan hasil wilayahnya kepada Belanda. Sejak itu,
terjadi penurunan semangat dan jiwa bahari bangsa Indonesia, dan pergeseran
nilai budaya, dari budaya bahari ke budaya daratan. Namun demikian, budaya bahari Indonesia
tidak boleh hilang karena alamiah Indonesia sebagai negara kepulauan terus
menginduksi, membentuk budaya bahari bangsa Indonesia.
Catatan penting sejarah maritim ini menunjukkan bahwa dibandingkan
dengan negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memiliki
keunggulan aspek budaya bahari bentukan secara alamiah oleh aspek-aspek alamiah
Indonesia. Berkurangnya budaya bahari lebih disebabkan berkurangnya perhatian
Pemerintah terhadap pembangunan maritim.
2.3 MENUMBUHKAN
KEMBALI KESADARAN BAHARI
Sesungguhnya, secara pemikiran dan konsepsi, Bangsa Indonesia
sudah lama ingin kembali ke laut. Pada tahun 1957, Bangsa Indonesia
mendeklarasikan Wawasan Nusantara, yang memandang bahwa wilayah laut di antara
pulau- pulau Indonesia sebagai satu-kesatuan wilayah nusantara, sehingga
wilayah laut tersebut merupakan satu keutuhan dengan wilayah darat, udara,
dasar laut dan tanah yang ada di bawahnya serta seluruh kekayaan yang
terkandung di dalamnya sebagai kekayaan nasional yang tidak dapat
dipisah-pisahkan. Sejak tahun 1999 Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan
komitmennya terhadap pembangunan kelautan. Komitmen pembangunan pemerintah di
bidang kelautan, diwujudkan dengan dibentuknya Departemen Eksplorasi Laut pada
tanggal 26 Oktober 1999 dan menempatkan Sarwono Kusumaatmadja sebagai menteri
pertama. Pada bulan Desember nama departemen ini berubah menjadi Departemen
Eksplorasi Laut dan Perikanan, dan sejak awal tahun 2001 berubah lagi menjadi
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) hingga sekarang.
Demi menggemakan semangat pembangunan nasional yang berdasarkan
kelautan, Presiden KH Abdurrahman Wahid mencanangkan 13 Desember sebagai Hari
Nusantara dan memperingatinya untuk pertama kali di Istana Negara, Jakarta
tahun 1999. Visi pembangunan kelautan Gus Dur kemudian diteruskan oleh Presiden
Megawati Soekarnoputri, dengan menetapkan tanggal 13 Desember sebagai Hari
Nusantara berdasarkan Keppres No. 126 Tahun 2001 tentang Hari Nusantara, dan
menjadikan tanggal tersebut sebagai hari resmi perayaan nasional. Kebijakan
yang sangat penting di bidang maritim yang dibuat oleh Presiden Megawati Soekarnoputri
pada tahun 2001 yaitu dalam Seruan Sunda Kelapa menyatakan penerapan asas
cabotage sebagai suatu keharusan. Penerapan asas cabotage adalah kebijakan
fundamental bagi pembangunan industri maritim nasional. Dengan pencetusan
kebijakan penerapan asas cabotage dengan Seruan Sunda Kelapa tersebut,
Pemerintah kemudian segera memulai penyusunan aturan pelaksanaannya. Aturan
pelaksanaannya berupa Inpres tentang Pengembangan Industri Pelayaran Nasional
yang akhirnya ditandatangani oleh oleh Presiden berikutnya yaitu Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono berupa Inpres No. 5 tahun 2005. Namun penerapan Inpres
ini berjalan sangat lamban, terutama karena dukungan Kementerian Keuangan dalam
hal kebijakan keuangan dan perpajakan untuk pengadaan, pengoperasian dan pemeliharaan
kapal.
Dalam tataran strategik operasional, budaya bahari bangsa
Indonesia
masih memprihatinkan, apalagi bila kita sependapat
bahwa budaya adalah semua hasil olah pikir,
sikap dan perilaku masyarakat yang diyakini dan dikembangkan
bersama untuk mengatasi permasalahan yang mereka hadapi, mengembangkan kehidupan yang lebih layak, dan beradaptasi
terhadap situasi lingkungan hidup. Budaya bahari bangsa Indonesia belum tumbuh
kembali, bukan saja di tengah masyarakat,
tetapi juga pada tataran pembuat kebijaksanaan
sehingga Indonesia belum mampu memanfaatkan kelautan. sebagai sumber
kesejahteraannnya. Kita perlu mengembangkan kesadaran bahari Bangsa Indonesia,
terutama dengan menerapkan kebijakan pembangunan maritim nasional berdasarkan konsepsi yang jelas sesuai aspek-aspek
alamiah (Tri Gatra) Indonesia.
Mengalir dari uraian di atas, tampak jelas bahwa Indonesia
membutuhkan
segera adanya kebijakan pembangunan maritim nasional
yang dimulai dengan perumusan persepsi bangsa
Indonesia dalam melihat pengaruh laut terhadap kehidupan
politik, ekonomi, sosial budaya, dan sistem pertahanan dan keamanan nasional.
2.4 Perumusan Kebijakan
Kesejahteraan merupakan kata kunci
sekaligus tujuan utama dari kebijakan yang diformulasikan, Kesejahteraan
nelayan dapat dicapai apabila aspek-aspek (sumberdaya manusia, permodalan,
sosial, sumberdaya alam, fisik sarana dan prasarana) mengalami perningkatan
yang semakin besar dirasakan oleh nelayan. Hubungan kelima aspek dalam
mewujudkan kesejahteraan nelayan dapat divisualisasikan sebagai segi lima sama
sisi (pentagonal) yang berubah dari ukuran kecil ke ukuran yang lebih besar.
a.
Peningkatan
Kesejahteraan Nelayan Indonesia
Pembangunan kelautan dan perikanan
yang dilakukan haruslah mampu meningkatkan kesejahteraan para nelayan sebagai
aktor utama pembangunan tersebut.
b.
Menyusun
Undang-Undang Perlindungan Petani dan Nelayan
Permasalahan-permasalahan yang
timbul dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan sering kali sangat
merugikan nelayan sebagai pelaku utamanya. Semakin menurunnya generasi muda
yang mau meneruskan profesi sebagai nelayan telah banyak dialami di berbagai
lokasi. Mereka sebagian besar beralih dengan memilih profesi sebagai buruh
pabrik, sedangkan untuk mendapatkannya harus bersaing dengan banyak peminat,
belum lagi permasalahan dalam sisitem perburuhan di Indonesia yang sebagian
besar masih berfihak kepada pemilik capital.
Hal ini mengakibatkan mereka juga
beralih ke sektor-sektor informal dengan menjadi pedagang asongan dan pedagang
kaki lima yang sering menimbulkan permasalahan baru. Belum ada undang-undang
yang melindungi hak-hak para petani dan nelayan yang jumlahnya lebih dari
setengah warga negara Indonesia. Sehingga kaum petani dan nelayan selalu
menjadi kaum yang tertindas dan dieksploitir dalam pencapaian target
pembangunan ekonomi Indonesia. Pada tahap lebih lanjut dengan semakin
sedikitnya jumlah orang yang beminat menjadi petani dan nelayan, sedangkan
keberadaan sumberdaya Indonesia yang melimpah, mengakibatkan produktifitas
secara makro akan menurun.
c.
Penguatan
Kelembagaan Nelayan di Tingkat Lokal sampai Nasional
Pemasalahan nelayan yang telah
banyak dibicarakan dalam berbagai forum diskusi atau seminar yang dilakukan
oleh berbagai lembaga belumlah menunjukkan dampak signifikan terhadap
peningkatan kesejahteraan kaum nelayan. Bahkan keberadaan lembaga atau
organisasi yang mengatas namakan perjuangan nelayan sering digunakan untuk
berbagai kepentingan politik atau untuk mendapatkan garapan proyek yang
manfaatnya tidak dirasakan oleh nelayan itu sendiri
Lembaga yang terbentuk diarahkan
berfungsi sebagai intermediasi, memfasilitasi terjalinnya jalinan koordinasi,
komunikasi, dan informasi antara masyarakat nelayan dengan:
· Sesama nelayan
· Pemerintah, parlemen dan instansi terkait
· Lembaga investasi dan permodalan
· Lembaga pendidikan dan pelatihan
· Media informasi public
d. Pelaksanaan
Desentralisasi Pembangunan Sektor Perikanan dan Kelautan
Desentralisasi sektor perikanan dan
kelautan ini memiliki dua dimensi kebijakan yang sangat penting.
Pertama, bahwa Pemerintah Daerah memiliki kewajiban untuk membina
para nelayan di daerahnya. Artinya, jika selama ini tanggung jawab untuk
membina para nelayan berada pada Pemerintah Pusat, maka sejalan dengan
desentralisasi sektor perikanan dan kelautan ini, kewajiban tersebut seharusnya
dibebankan pada Pemerintah Daerah. Hal ini masih ditandai dengan
program-program pembinaan, pendampingan, dan pemberdayaan nelayan sebagian
besar berasal dari Pemerintah Pusat.
Kedua, bahwa Pemerintah Daerah diberikan wewenang yang utuh untuk
membangun sektor perikanan dan kelautannya sesuai dengan keunggulan komparatif
dan kompetitif yang dimiliki oleh daerah bersangkutan. Dengan demikian, campur
tangan pembangunan subsektoral oleh Pemerintah Pusat, sebagaimana pada era Orde
Baru, seharusnya sudah ditinggalkan. Hal ini juga diharapkan akan meningkatnya
pemerataan pembangunan di sektor perikanan dan kelautan.
e. Kebijakan
Permodalan bagi Sektor Perikanan dan Kelautan, Urgensi Pendirian Bank Petani
dan Nelayan
Perlu bagi Indonesia untuk memiliki
bank petani dan nelayan. Tujuan dari pendirian Bank Petani dan Nelayan ini
adalah untuk melayani para petani dan nelayan kita dalam memudahkan akses
modal. Kalangan perbankan beranggapan untuk menanamkan investasi ke sektor
perikanan memiliki faktor resiko yang tinggi. Kalangan perbankan konvensional
belum dapat memahami pola-pola yang selama ini dijalankan oleh para nelayan,
sehingga pola-pola yang dilakukan nelayan tidak masuk dalam lima standar yang
biasanya diterapkan oleh perbankan.
Beberapa negara yang telah memiliki bank petani dan nelayan
diantaranya: Malaysia mempunyai Bank Pertanian Malaysia (BPM), Thailand
memiliki Bank of Agriculture and Agriculture Cooperative (BAAC), Eropa punya
Rabo Bank yang dimiliki oleh koperasi, Amerika Serikat dan Filipina punya Land
Bank. Adanya bank petani dan nelayan ini juga perlu untuk menghindari
penyalahgunaan penyaluran kredit pemerintah untuk kepentingan lain.
f. Penataan
Struktur Pasar dan Lingkungan Usaha
Penataan Struktur Dan Lingkungan Usaha, melalui:
1.
Memperkuat dan membangun praktek
usaha dan perdagangan yang adil dan sehat, tidak membiarkan terjadinya
praktek-praktek monopoli, oligopoli, kartel, dan bentuk-bentuk usaha yang tidak
sehat lainnya.
2.
Memperkuat perundang-undangan di
bidang persaingan usaha yang sehat (Anti Monopoli) sehingga bisa menjamin akses
yang sama kepada para pelaku usaha
3.
Penegakan hukum (law enforcement)
yang atas peraturan perundang-undangan di bidang persaingan usaha yang sehat
(Anti Monopoli).
4.
Mengkaji ulang seluruh tataniaga dan
pemberian hak-hak eksklusif seperti hak distribusi komoditi tertentu yang
kontra produktif terhadap perkembangan UMKM.
5.
Tidak mengandalkan dan
menggantungkan penjualan secara ekspor saja, tetapi juga mengarahkan penjualan
produk perikanan ke dalam negeri untuk pencapaian target pemenuhan konsumsi
ikan rakyat Indonesia dari 21,7 kg/kapita/tahun (tahun 2000) menjadi 30
kg/kapita/tahun
g. Kebijakan
di Bidang Birokrasi, Kelembagaan, serta Penanganan Masalah Korupsi
Pembangunan kelautan dan perikanan
yang dilaksanakan melihat bahwa upaya peningkatan efektifitas dan efisiensi
pemerintahan serta good-governance di sektor perikanan dan kelautan tidak
mungkin tercapai tanpa reformasi besar-besaran dalam birokrasi dan
lembaga-lembaga perikanan dan kelautan tersebut. Dengan birokrasi yang tidak
efektif dan tidak efisien akan sangat sulit untuk mencapai kesejahteraan dan
keadilan bagi rakyat Indonesia.
Pembangunan kelautan dan perikanan
yang dilaksanakan melihat bahwa reformasi birokrasi harus mencakup transformasi
kultur birokrasi yang feodal menjadi kreatif dan inovatif, restrukturisasi dan
perampingan birokrasi, perbaikan sistem kompensasi dan insentif termasuk
alokasi anggaran rutin yang lebih proporsional, pelaksanaan sistem punishment,
dan perbaikan sistem recruitment. Selain pendekatan konsepsional dan sistem
dalam proses reformasi birokrasi, sangat diperlukan serangkaian shock therapy
agar reformasi birokrasi dan kelembagaan efektif dan mendapat dukungan dari
masyarakat.
Pembangunan kelautan dan perikanan
yang dilaksanakan juga melihat bahwa kelembagaan peradilan di Indonesia,
terutama kelembagaan di bidang penanganan korupsi masih sangat lemah. Padahal,
problem kronis negara ini adalah korupsi, dimana peringkat korupsi kita begitu
tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain. Pembangunan kelautan dan
perikanan yang dilaksanakan melihat bahwa keberadaan institusi peradilan yang
ada saat ini dirasakan tidak memadai untuk memberantas korupsi. Oleh karena
itu, Pembangunan kelautan dan perikanan yang dilaksanakan dipandang perlu
diadakan kelembagaan peradilan yang secara khusus mengurusi masalah penanganan
kasus-kasus korupsi.
h. Pemeliharaan
dan Peningkatan Daya Dukung serta Kualitas Lingkungan
Pembangunan kelautan dan perikanan
yang dilaksanakan haruslah membawa manfaat pada masyarakat setempat atau
keuntungan tertentu bagi keuangan publik lokal dan nasional serta memperhatikan
aspek kelestarian lingkungan sehingga senantiasa terjamin kelangsungannya
(sustainable).
2.5 Strategi dan
Kebijakan Perikanan
Kebijakan pembangunan sektor
kelautan perikanan didasarkan pada pendekatan pembangunan yang diarahkan agar
mampu memainkan peranan utama dalam perbaikan perekonomian daerah, dalam arti
dapat memposisikan sebagai penggerak pembangunan ekonomi daerah dan
membudayakan masyarakat pembudidaya ikan/nelayan agar mampu mandiri dalam
melaksanakan usahanya. Yang meliputi ;
1.
Pemberdayaan Masyarakat dan Aparatur
Kelautan dan Perikanan
2.
Pengembangan Teknologi Budidaya
Perikanan, Teknologi Penangkapan Ikan dan Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan.
3.
Peningkatan Pengawasan dan
Pengendalian terhadap Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan.
4.
Peningkatan dan Pengembangan.Sarana
dan Prasaran Kelautan dan Perikanan.
Adapun
strategi yang dilakukan adalah sebagai berikut :
· Meningkatkan Kemampuan SDM Kelautan Perikanan
Pengembangan sumberdaya manusia pada
sektor perikanan dan kelautan ditujukan tidak saja kepada pembudidaya
ikan/nelayan atau masyarakat perikanan pada umumnya, tetapi juga termasuk pada
aparat-aparat pembina perikanan dan kelautan itu sendiri. Pengembangan
sumberdaya yang dilakukan, tidak hanya mencakup aspek teknis, seperti
penciptaan Iptek, manajemen atau peningkatan keterampilan dan produktivitas,
tetapi mencakup juga aspek yang lebih mendasar, yaitu peningkatan harkat,
martabat dan kepercayaan terhadap diri sendiri, kemampuan berwira swasta serta
tanggung jawab baik sebagai anggota keluarga, warga masyarakat ataupun pribadi
mandiri. Oleh karena itu pembinaan terhadap pembudiya ikan/nelayan tidak hanya
ditujukan kepada fungsi mereka sebagai faktor produksi atau tenaga kerja,
tetapi juga kepada fungsi mereka sebagai sumberdaya insani yang memerlukan
keseimbangan kesejahtraan rohani dan jasmani.
Sedangkan terhadap aparat
pembina diharapkan akan tetap mau dan mampu meningkatkan pengetahuan,
keterampilan serta wawasan sesuai perkembangan yang terjadi melalui berbagai
kesempatan baik dalam negeri maupun di luar negeri
·Memanfaatkan Sumberdaya Kelautan Perikanan Secara Optimal,
Efisien dan Berkelanjutan (Suistainable)
Potensi lahan kelautan dan
perikanan di Tanah Bumbu cukup besar dan berpeluang untuk dikembangkan
secara optimal tanpa mengganggu kelestariannya dengan tingkat
efektifitasmelalui usaha ekstensifikasi, identifikasi, diverifikasi dan
rehabilitasiserta dengan menggunakan teknologi tepat guna dan memberikan
prioritas utama terhadap komoditas ekonomis penting serta komoditas unggulan
yang memiliki nilai ekonomis tinggi.
· Meningkatkan Mutu Hasil Perikanan
Pembangunan kelautan dan perikanan
merupakan salah satu kegiatan yang ekonomis dan mempunyai nilai strategis dan
sangat prospektif. Hal ini mengingat kecendrungan semakin meningkatnya
permintaan dunia akan produk hasil perikanan . Sehubungan dengan
meningkatnya permintaan tersebut maka selain pencapaian target produksi,
upaya peningkatan pengawasan mutu hasil perikanan juga merupakan faktor utama
dalam meningkatkan hasil produksi. Langkah-langkah yang ditempuh oleh Dinas
adalah penanganan dan pengolahan pasca panen yang dilaksanakan oleh petani ikan
sesuai anjuran teknis serta peningkatan teknologi dan pemrosesan produk.
Peningkatan akses pasar yang tidak hanya lokal tetapi juga nasional
bahkan internasional (distribusi ekspor) sesuai dengan jenis komoditas
yang diusahakan dan diperlukan pasar.
· Meningkatkan Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya
Kelautan dan Perikanan
Pemanfaatan dan pengelolaan
sumberdaya alam perlu dilaksanakan sesuai dengan peraturan pemerintah yang
berlaku. Peraturan-peraturan di bidang kelautan dan perikanan lebih mengarah
dalam upaya menjaga kelestarian sumberdaya kelautan perikanan, agar pelaksanaan
sejalan dengan peraturan yang berlaku perlu adanya pengawasan dan pengendalian
di lapangan. Dalam melaksanakan pengawasan dan pengendalian sebagai upaya
penegakan peraturan di bidang kelautan dan perikanan, perlu didahului oleh
pembinaan dan sosialisasi tentang hukum kepada pelaku usaha di bidang kelautan
dan perikanan khususnya pembudidaya ikan dan nelayan serta masyarakat pada
umumnya. Untuk lebih mengoptimalkan pengawasan, akan dilakukan pembinaan sistem
pengawasan mandiri oleh masyarakat melalui penggalangan SISWASMAS (Sistem
Pengawasan Masyarakat) dan POKWASMAS (Kelompok Pengawas Masyarakat).
· Merehabilitasi Ekosistem Habitat pesisir, Laut, dan Perairan
Umum
Potensi lahan kelautan dan perikanan
Kabupaten Tanah Bumbu cukup besar dan berpeluang untuk dikembangkan dan
dimanfaatkan secara optimal tanpa menggangu lingkungannya dengan mengutamakan
kelestarian sumberdaya hayati. Dilakukan peningkatan rehabilitasi dan
konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan dengan cara mangrove (pohon bakau)
di wilayah pesisir yang mengalami abrasi.
· Meningkatkan Pembangunan Infrastruktur Dalam Rangka
Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan Perikanan
Dalam rangka peningkatan pengembangan kegiatan usaha
kelautan perikanan yang turut berpengaruh terhadap pemasaran. Pembangunan
infrastruktur dan rehabilitasi prasarana serta peningkatan sarana menjadi hal
yang utama dalam rangka pemanfaatan sumberdaya kelautan perikanan.
· Menciptakan Lapangan Kerja Baru Di Bidang Usaha Kelautan
Perikanan
Adanya pertambahan penduduk dari
tahun ke tahun akan mengakibatkan semakin sempitnya lahan pekerjaan di segala
sektor. Dan selaras dengan komitmen Kabupaten Tanah Bumbu untuk menanggulangi
penganguran maka Pembangunan Infrastruktur pada sektor Kelautan Perikanan sangat
mendukung dalam menciptakan lapangan kerja baru.
· Memberdayakan Sosial Ekonomi Masyarakat Kelautan dan
Perikanan
Dilatarbelakangi oleh adanya
kenyataan bahwa masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang sangat tertinggal
atau mempunyai pendapatan yang relatif rendah dan merupakan salah satu kelompok
masyarakat yang memiliki strata sosial terendah. Oleh karena itu Dana
Penguatan Modal Perikanan adalah salah satu langkah awal dalam rangka
peningkatan sosial ekonomi masyarakat kelautan perikanan.
· Mengembangkan dan Memperkuat Sistem Informasi Kelautan
Perikanan
Pengetahuan, Penguasaan dan
Penerapan Teknologi terhadap masyarakat perikanan umumnya terbatas, oleh karena
itulah peran Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) Perikanan dalam hal ini sebagai
media dalam mengembangkan dan memperkuat sistem informasi yang berguna dalam
meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, inovasi dan motivasi masyarakat
perikanan, terutama dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan.
2.6 Blue Economy
Sebagai Salah Satu Kebijakan Pembangunan Perikanan dan Kelautan
Dalam dekade terakhir ini konsepsi
ekonomi biru semakin sering diperbincangkan sebagai alternatif kebijakan
dalam mencapai peningkatan kesejahteraan masyarakat, ekonomi biru
menawarkan aktivitas ekonomi yang mengedepankan kelestarian
lingkungan, menggerakkan perekonomian yang rendah karbon (low carbon
economy) dengan meninggalkan praktek ekonomi yang mementingkan
keuntungan jangka pendek, yang mengeksploitasi sumber daya alam dan lingkungan.
Presiden RI dalam Konferensi
Pembangunan Berkelanjutan PBB Rio+20 di Rio de Janeiro, Brasil, Juni
2012, menawarkan gagasan akan perlunya dikembangkan blue
economy dalam mendukung pembangunan berkelanjutan,
ajakan kepada dunia agar berpaling ke laut dan guna mendorong kesadaran
global terhadap pengelolaan laut dan sumber daya pesisir. Prinsip ekonomi
biru dinilai tepat dalam membantu dunia untuk menghadapi tantangan perubahan
iklim, sehingga dapat terwujudnya pembangunan berkelanjutan secara
terpadu dan selaras dengan upaya pengentasan kemiskinan, gagasan tersebut
mendapatkan apresiasi yang sangat tinggi dari masyarakat internasional.
Sebagai tindak lanjutnya,
gagasan besar Presiden RI tersebut telah diangkat sebagai topik bahasan
dalam berbagai forum kerjasama internasional, antara lain pada pertemuan
tingkat ‘Senior Officials Meeting (SOM) for the Asia Pacific Economic
Cooperation’ (APEC) dan puncaknya, pada pada 2013,
Indonesia akan menjadi tuan rumah terkait Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik
APEC, yang antara lain menjadikan ekonomi biru
sebagai salah satu agenda yang akan dibahas, sekaligus membuktikan
keseriusan Indonesia membawa diskusi ekonomi biru pada tingkat
bilateral dan multilateral .
Bagi Indonesia pengembangan ekonomi
biru bukanlah tanpa alasan, mengingat luas laut Indonesia lebih kurang 5,8 juta
km2 atau 2/3 luas wilayah RI dengan garis pantai sepanjang 95.181 km
atau terpanjang kedua didunia setelah Kanada, dengan potensi sumberdaya,
terutama sumberdaya perikanan laut yang cukup besar, baik dari segi kuantitas
maupun diversitas.
Wilayah laut Indonesia yang dimulai
dari laut teritorial, Zona Tambahan (contiguous zone), Zona Ekonomi
Ekslusif (ZEE) sampai dengan Landas Kontinen (continental shelf),
memiliki sumberdaya alam yang sangat berlimpah, baik sumberdaya terbaharukan (renewable
resources) seperti perikanan, terumbu karang dan mangrove maupun sumberdaya
tak terbaharukan (non-renewable resources) seperti minyak bumi, gas,
mineral dan bahan tambang lainnya. Laut memiliki peran geoekonomi yang sangat
vital bagi kemakmuran bangsa Indonesia dalam 11 sektor ekonomi. Sebelas sektor
itu di antaranya perikanan tangkap, perikanan budi daya, industri pengolahan
hasil perikanan, industri bioteknologi kelautan, pertambangan dan energi,
pariwisata bahari, transportasi laut, kehutanan, sumber daya wilayah
pulau-pulau kecil, industri dan jasa maritim, serta sumber daya alam
nonkonvensional, diperkirakan potensi ekonomi laut Indonesia
sekitar 1,2 triliun dolar AS per tahun, atau dapat dikatakan setara dengan 10
kali APBN negara pada 2012.
Sayangnya, potensi ekonomi kelautan
yang sangat besar itu ibarat raksasa yang tertidur, belum dapat kita
transformasikan menjadi sumber kemajuan dan kemakmuran bangsa.
Salah satu cara untuk mencapai
transformasi potensi untuk ekonomi biru melalui konservasi keanekaragaman
hayati yang berpusat pada rakyat, dengan tetap memperhatikan kearifan
lokal. Pendekatan ini fokus pada “win-win” yang mengakomodasi kebutuhan dan
aspirasi melalui konsultasi termasuk semua pemangku kepentingan. Namun, perlu
dibarengi dengan pelestarian ekosistem yang menyediakan makanan, mata
pencaharian dan pendapatan kepada masyarakat setempat.
Masyarakat pesisir dan nelayan perlu
diedukasi akan pentingnya memelihara ekosistem dengan menghilangkan praktik-praktik
“jalan pintas” dalam memanfaatkan nilai ekonomi kelautan dan
perikanan yang ada, misalnya praktik menangkap ikan dengan bom
ikan, mereduksi pengembangan wisata bahari yang tidak memperhatikan kelestarian
lingkungan, serta kegiatan eksplorasi sumber daya tak terbaharukan
tanpa mengindahkan keberlanjutan pemanfaatannya pada masa
mendatang.
Perubahan besar sangat diperlukan
dalam cara kita menggunakan, mengembangkan dan mengelola potensi yang ada,
diperlukan adanya tekad dan semangat dari para pemangku kepentingan
untuk melihat laut sebagai masa depan ekonomi bangsa Indonesia
sebagai bangsa bahari/maritim, menyatukan visi memahami boundary
object, fokus, serta sungguh-sungguh dalam mendorong akselerasi
sinergitas dan peningkatan kapabilitas koordinasi sebagai prasyarat utama untuk
memastikan seluruh subsistem pendukung bekerja, karena disanalah
kemakmuran dan kesejahteraan bangsa Indonesia di masa datang akan dapat
diwujudkan.
Pendekatan ekonomi biru (blue
economy) yang menekankan keberlanjutan diharapkan akan mampu mengatasi
ketergantungan antara ekonomi dan ekosistem serta dampak negatif akibat
aktivitas ekonomi termasuk perubahan iklim dan pemanasan global, serta
bersinergi dengan program pro-poor (pengentasan kemiskinan), pro-growth
(pertumbuhan), pro-job (penyerapan tenaga kerja) dan pro-environment (melestarikan
lingkungan)Top of Form.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
· Kebijakan pembangunan perikanan
adalah serangkaian tindakan yang telah, sedang dan akan dilaksanakan oleh
pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu yang sudah direncanakan.
· Kesejahteraan nelayan dapat dicapai
apabila aspek-aspek (sumberdaya manusia, permodalan, sosial, sumberdaya alam,
fisik sarana dan prasarana) mengalami perningkatan yang semakin besar dirasakan
oleh nelayan. Hubungan kelima aspek dalam mewujudkan kesejahteraan nelayan
dapat divisualisasikan sebagai segi lima sama sisi (pentagonal) yang berubah
dari ukuran kecil ke ukuran yang lebih besar.
· Kebijakan pembangunan sektor kelautan
perikanan didasarkan pada pendekatan pembangunan yang diarahkan agar mampu
memainkan peranan utama dalam perbaikan perekonomian daerah, dalam arti dapat
memposisikan sebagai penggerak pembangunan ekonomi daerah dan membudayakan
masyarakat pembudidaya ikan/nelayan agar mampu mandiri dalam melaksanakan
usahanya. Yang meliputi ;
1.
Pemberdayaan Masyarakat dan Aparatur
Kelautan dan Perikanan
2. Pengembangan Teknologi Budidaya
Perikanan, Teknologi Penangkapan Ikan dan Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan.
3. Peningkatan Pengawasan dan
Pengendalian terhadap Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan.
4. Peningkatan dan Pengembangan.Sarana
dan Prasaran Kelautan dan Perikanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar