BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan (archipelagic
state) dengan luas wilayah lautnya mencapai 5,8 juta km2 atau hampir
dua pertiga luas wilayah Indonesia (Purwanto 2009). Rembang merupakan salah
satu kabupaten di pesisir pantai utara pulau Jawa, Rembang memiliki panjang
garis pantai 63,5 km dengan luas wilayah pesisir 355,95 km2(Helmi 2008).
Perairan Rembang merupakan wilayah yang termasuk dalam kawasan eksplorasi.
Sehingga terdapat potensi laut yang dapat
dikelola dan dimanfaatkan. Namun dengan wilayah perairan yang luas juga rentan
terhadap konflik, baik konflik keruangan maupun konflik pemanfaatan sumber daya
laut. Menurut Laporan Operasi Laut DKP tahun 2008, konflik di perairan terjadi
akibat penggunaan jaring trawl oleh nelayan serta akibat
pelanggaran jalur penangkapan ikan.
Namun dalam penyelesaian permasalahan
tersebut instansi terkait hanya memberikan pengarahan dan penyitaan trawl yang
digunakan untuk menangkap ikan. Solusi tersebut belum mampu untuk menghentikan
konflik yang terjadi, sehingga terus terulang sampai saat ini.
Oleh karena itu diperlukan sebuah sistem yang
dapat mengatasi permasalahan dan dapat memberikan solusi dari konflik di
perairan Rembang baik dalam hal pelanggaran jalur penangkapan ikan maupun
sebagai solusi permasalahan yang terjadi akibat penggunaan trawl.
Sistem yang dimaksudkan adalah kadaster laut, dimana kadaster laut menjalaskan
mengenai kemungkinan adanya pencatatan batas-batas dan kepentingan di laut,
yang diatur secara spasial dan didefinisikan secara fisik.
1.2
Tujuan
Malakah ini dibuat sebagai “Tugas Wajib untuk memenuhi standar nilai Mata
Kuliah Hukum Laut dan selanjutnya akan dijadikan bahan pertimbangan untuk
penambahan nilai oleh dosen pembimbing mata kuliah tersebut diatas” dibuat
dengan tujuan :
1. Dapat mengetahiu fungsi
pembagian wilayah
2. Dapat mengetahui fungsi
karakteristik HT pada perikanan
3. Dapat mengetahui jenis ikan
apa saja yang terdapat di suatu wilayah
BAB II
JALUR PENANGKAPAN
IKAN
2.1 Jalur Penangkapan Ikan
Pasal 40
Jalur Penangkapan Ikan di
Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) terdiri dari:
a. Jalur penangkapan ikan I.
b. Jalur penangkapan ikan II.
c. Jalur penangkapan ikan III.
Pasal 41
(1) Jalur Penangkapan Ikan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal
40 ayat (1), terdiri dari:
a. Jalur penangkapan ikan IA, meliputi perairan pantai
sampai dengan 2 (dua) mil laut diukur dari permukaan air laut pada surut
terendah dengan ukuran kapal 0-5 GT.
b. Jalur penangkapan ikan IB, meliputi perairan pantai
diluar 2 (dua) mil laut sampai dengan 4 (empat) mil laut dengan ukuran kapal
5-10 GT.
(2) Jalur Penangkapan Ikan II sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 huruf b, meliputi perairan
diluar jalur penankapan ikan I sampai dengan 12 (dua belas) mil laut diukur
dari permukaan air laut pada surut terendah dengan ukuran kapal 10-30 GT.
(3)Jalur Penangkapan Ikan III sebagaimna dimaksud dalam
Pasal 40 huruf c, meliputi ZEEI dan perairan diluar jalur penangkapan ikan II
dengan ukuran kapal diatas 30 GT.
Dalam
Kepmentan No. 392 Tahun 1999 menjelaskan bahwa wilayah perairan administrasi
daerah Propinsi dibagi menjadi 3 (tiga) jalur penangkapan ikan yaitu jalur Ia
(0-3 mil laut), jalur Ib (3-6 mil laut), jalur II (6-12 mil laut) dan jalur III
(12 mil laut-ZEEI). Implementasi kebijakan tersebut dalam formatspasial yang
divisualisasikan dalam bentukpeta jalur (Gambar 1). Mempunyai beberapa ketimpangan,
antara lain yaitu: penentuanbatas pulau-pulau terluar yang masih rancuyaitu
masih terdapatnya karang-karang keringyang berpotensi menjadi batas wilayah
sertapenentuan jarak minimum antar titik tersebut.Selain itu juga, implementasi
di lapangan.
BAB III
PERBANDINGAN DENGAN NEGARA LAIN
PERBANDINGAN DENGAN NEGARA LAIN
3.1 Hubungan antar Negara Indonesia dan Malaysia
Negara
Indonesia adalah negara maritim kepulauan yang memiliki potensi sumber daya
kelautan melimpah sekaligus menggiurkan bagi bangsa Indonesia sendiri, maupun
bagi negara-negara tetangganya. Sejak dahulu, sudah tidak terhitung kasus
penangkapan nelayan asing yang masuk kedalam wilayah Indonesia dan mengambil
ikan-ikan dari wilayah Indonesia. Luasnya wilayah laut Indonesia serta
kurangnya penjagaan laut membuat wilayah perairan perbatasan Indonesia menjadi
sasaran empuk bagi para pendulang ikan dari negara-negara tetangga untuk terus
melakukan aksinya. Tetapi faktanya bukan hanya nelayan asing saja yang masuk
dan secara ilegal mengambil sumber daya alam Indonesia, nelayan-nelayan
Indonesia pun ternyata banyak yang menjadi korban penangkapan akibat melakukan
penangkapan ikan di wilayah negara tetangga, antara lain di wilayah negara
Malaysia.
Kasus penangkapan ikan ilegal oleh nelayan
kedua negara selama beberapa tahun terakhir telah menjadi fokus utama masalah
bilateral yang perlu dibenahi, didasari keinginan kedua negara untuk mencegah
aksi-aksi nelayan tidak berhukum serta untuk meperbaiki tatanan hubungan
bilateral kedua negara, selain daripada untuk mencegah kerugian negara.
Indonesia saja telah mengalami kerugian hingga sebesar Rp 30 triliun selama 10
tahun terakhir akibat penangkapan dan pencurian ikan ilegal di seluruh
wilayahnya [1]. Banyaknya kasus penangkapan ikan ilegal yang merugikan kedua
negara seringkali beralasan karena batas-batas laut negara yang tidak jelas dan
kurang dipahami nelayan tradisional, kekurangan mereka dalam hal navigasi,
hingga faktor cuaca yang membuat mereka tersasar.
Didasari niat baik kedua negara
dalam menyelesaikan masalah ini melalui jalur diplomasi, dibuatlah nota
kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) “Common Guidelines
Concerning Treatment of Fishermen by Maritime Law Enforcement Agencies” pada
tanggal 27 Januari 2012 di Nusa Dua, Bali [2]. Isinya adalah tentang perjanjian
kerjasama antara pemerintah Republik Indonesia dan Kerajaan Malaysia mengenai
nelayan-nelayan tradisional yang tersesat di perairan kedua negara, pedoman
serta penanganannya yang nantinya dilakukan oleh badan-badan penegak hukum di
negara masing-masing.
Inti dari pedoman umum (common
guidelines) ini adalah bukan pada kebijakan hukum atau rezim yang akan diberlakukan
di wilayah perairan kedua negara, tetapi lebih kepada penanganan dan taktis
operasional baru di lapangan atau oleh aparat keamanan laut antara kedua belah
pihak sekiranya terjadi kasus lintas batas wilayah laut negara seperti yang
sering terjadi sebelumnya [3].
3.2
Konflik Antara Negara Indonesia Dengan Malaysia
Berdasarkan
hasil pemetaan (Gambar 4), teridentifikasi beberapa lokasi rawan konflik yaitu
diantaranya perairan pedalaman yang belum dibahas dan tergambarkan dalam Kepmentan
No. 392 Tahun 1999, daerah perbatasan antar negara yaitu bagian utara propinsi
Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Malaysia, daerah ekosistem terumbu karang
dengan kedalaman kurang dari 20 meter yang masuk dalam jalur I penangkapan ikan
(Ia dan Ib) yaitu di sekitar gugus pulau Karimata dan Jangkat Linge (bagian
selatan Propinsi Kalimantan Barat) dan daerah perbatasan langsung antar
propinsi yaitu perbatasan dengan propinsi Kalimantan Tengah (Tanjung Nipa).
Selain
itu juga, kenyataan di lapangan terjadi overlapping dimana nelayan-nelayan
skala besar dengan alat dan mesin yang seharusnya beroperasi di jalur II juga
masuk dan beroperasi di Jalur Ia dan jalur Ib yang sangat merugikan nelayan kecil.
Peta
alternatif ini telah mempertimbangkan parameter jarak dan kedalaman (isobath)
disertai dengan beberapa asumsi dan pembatasan. Adapun asumsiasumsi yang digunakan antara lain yaitu :
1.
Jalur
I dengan jarak maksimal 4 mil laut diukur dari garis pangkal kewenangan propinsi.
2.
Jalur
II dengan jarak maksimal 12 mil laut diukur dari batas jalur I (4 mil laut).
3.
Jika
dalam jalur I terdapat daerah dengan kedalaman kurang dari atau sama dengan 20
meter dan daerah tersebut berada di jalur II, maka daerah tersebut masuk dalam
jalur I.
4. Jika
dalam jalur II terdapat daerah dengan kedalaman 20 meter dan atau sampai di luar
jalur 20 meter ke arah luar, maka akan menjadi daerah atau zona konservasi dengan
tanda bendera warna merah di lapangan.
5. Jalur
III diukur dari batas terluar jalur II sampai ZEEI dan tidak melampaui jalur II
batasan kewenangan Propinsi lain.
6. Daerah
di dalam garis pangkal kewenangan propinsi disebut sebagai perairan pedalaman
dan masuk dalam kategori jalur I.
Dengan disepakatinya nota kesepahaman antara
Indonesia dan Malaysia ini menunjukkan adanya kemauan niat baik kedua negara
dalam bekerjasama untuk melindungi dan menghormati nelayan tradisional, dan
juga niat baik untuk bekerjasama menyelesaikan suatu permasalahan bilateral
dengan jalan diplomasi dan bukan melalui konflik. Kerjasama mutualisme ini
diharapkan untuk terus dievaluasi dan ditingkatkan lagi kedepannya, serta dapat
ditularkan kepada bidang-bidang lainnya sehingga kedua negara terus dapat
menjalin kerjasama bilateral yang positif di regionalnya.
BAB IV
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Negara Indonesia adalah negara maritim kepulauan yang memiliki
potensi sumber daya kelautan melimpah sekaligus menggiurkan bagi bangsa
Indonesia sendiri, maupun bagi negara-negara tetangganya.
Jalur Penangkapan Ikan di
Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) terdiri dari:
· Jalur penangkapan ikan I.
· Jalur penangkapan ikan II.
· Jalur penangkapan ikan III.
DAFTAR
PUSTAKA
Monintja
D dan Yusfiandayani R. 2009. Pemanfaatan Sumberdya Pesisir Dalam
Bidang Perikanan Tangkap. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wlayah Pesisir Terpadu. Institur Pertanian Bogor. Bagor.
Bidang Perikanan Tangkap. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wlayah Pesisir Terpadu. Institur Pertanian Bogor. Bagor.
Supriharyono.
2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis.
PT. Gramedia, Jakarta.
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha
Perikanan.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 Tentang ZEE Indonesia.
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan
Sumber daya alam hayati di ZEE Indonesia.
Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan
UNCLOS 1982.
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar