Sabtu, 30 Juni 2018

Perizinan Jalur Penangkapan Ikan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan (archipelagic state) dengan luas wilayah lautnya mencapai 5,8 juta km2 atau hampir dua pertiga luas wilayah Indonesia (Purwanto 2009). Rembang merupakan salah satu kabupaten di pesisir pantai utara pulau Jawa, Rembang memiliki panjang garis pantai 63,5 km dengan luas wilayah pesisir 355,95 km2(Helmi 2008). Perairan Rembang merupakan wilayah yang termasuk dalam kawasan eksplorasi.
Sehingga terdapat potensi laut yang dapat dikelola dan dimanfaatkan. Namun dengan wilayah perairan yang luas juga rentan terhadap konflik, baik konflik keruangan maupun konflik pemanfaatan sumber daya laut. Menurut Laporan Operasi Laut DKP tahun 2008, konflik di perairan terjadi akibat penggunaan jaring trawl oleh nelayan serta akibat pelanggaran jalur penangkapan ikan.
Namun dalam penyelesaian permasalahan tersebut instansi terkait hanya memberikan pengarahan dan penyitaan trawl yang digunakan untuk menangkap ikan. Solusi tersebut belum mampu untuk menghentikan konflik yang terjadi, sehingga terus terulang sampai saat ini.
Oleh karena itu diperlukan sebuah sistem yang dapat mengatasi permasalahan dan dapat memberikan solusi dari konflik di perairan Rembang baik dalam hal pelanggaran jalur penangkapan ikan maupun sebagai solusi permasalahan yang terjadi akibat penggunaan trawl. Sistem yang dimaksudkan adalah kadaster laut, dimana kadaster laut menjalaskan mengenai kemungkinan adanya pencatatan batas-batas dan kepentingan di laut, yang diatur secara spasial dan didefinisikan secara fisik.

1.2 Tujuan
Malakah ini dibuat sebagai “Tugas Wajib untuk memenuhi standar nilai Mata Kuliah Hukum Laut dan selanjutnya akan dijadikan bahan pertimbangan untuk penambahan nilai oleh dosen pembimbing mata kuliah tersebut diatas” dibuat dengan tujuan :
1.    Dapat mengetahiu fungsi pembagian wilayah
2.    Dapat mengetahui fungsi karakteristik HT pada perikanan
3.    Dapat mengetahui jenis ikan apa saja yang terdapat di suatu wilayah


BAB II
JALUR PENANGKAPAN IKAN

2.1 Jalur Penangkapan Ikan
Pasal 40
Jalur Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) terdiri dari:
a.    Jalur penangkapan ikan I.
b.    Jalur penangkapan ikan II.
c.    Jalur penangkapan ikan III.

Pasal 41
(1)     Jalur Penangkapan Ikan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1), terdiri dari:
a.    Jalur penangkapan ikan IA, meliputi perairan pantai sampai dengan 2 (dua) mil laut diukur dari permukaan air laut pada surut terendah dengan ukuran kapal 0-5 GT.
b.   Jalur penangkapan ikan IB, meliputi perairan pantai diluar 2 (dua) mil laut sampai dengan 4 (empat) mil laut dengan ukuran kapal 5-10 GT.
(2) Jalur Penangkapan Ikan II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf  b, meliputi perairan diluar jalur penankapan ikan I sampai dengan 12 (dua belas) mil laut diukur dari permukaan air laut pada surut terendah dengan ukuran kapal 10-30 GT.
(3)Jalur Penangkapan Ikan III sebagaimna dimaksud dalam Pasal 40 huruf c, meliputi ZEEI dan perairan diluar jalur penangkapan ikan II dengan ukuran kapal diatas 30 GT.


Dalam Kepmentan No. 392 Tahun 1999 menjelaskan bahwa wilayah perairan administrasi daerah Propinsi dibagi menjadi 3 (tiga) jalur penangkapan ikan yaitu jalur Ia (0-3 mil laut), jalur Ib (3-6 mil laut), jalur II (6-12 mil laut) dan jalur III (12 mil laut-ZEEI). Implementasi kebijakan tersebut dalam formatspasial yang divisualisasikan dalam bentukpeta jalur (Gambar 1). Mempunyai beberapa ketimpangan, antara lain yaitu: penentuanbatas pulau-pulau terluar yang masih rancuyaitu masih terdapatnya karang-karang keringyang berpotensi menjadi batas wilayah sertapenentuan jarak minimum antar titik tersebut.Selain itu juga, implementasi di lapangan.


BAB III
PERBANDINGAN DENGAN NEGARA LAIN
3.1 Hubungan antar Negara Indonesia dan Malaysia
Negara Indonesia adalah negara maritim kepulauan yang memiliki potensi sumber daya kelautan melimpah sekaligus menggiurkan bagi bangsa Indonesia sendiri, maupun bagi negara-negara tetangganya. Sejak dahulu, sudah tidak terhitung kasus penangkapan nelayan asing yang masuk kedalam wilayah Indonesia dan mengambil ikan-ikan dari wilayah Indonesia. Luasnya wilayah laut Indonesia serta kurangnya penjagaan laut membuat wilayah perairan perbatasan Indonesia menjadi sasaran empuk bagi para pendulang ikan dari negara-negara tetangga untuk terus melakukan aksinya. Tetapi faktanya bukan hanya nelayan asing saja yang masuk dan secara ilegal mengambil sumber daya alam Indonesia, nelayan-nelayan Indonesia pun ternyata banyak yang menjadi korban penangkapan akibat melakukan penangkapan ikan di wilayah negara tetangga, antara lain di wilayah negara Malaysia.

Kasus penangkapan ikan ilegal oleh nelayan kedua negara selama beberapa tahun terakhir telah menjadi fokus utama masalah bilateral yang perlu dibenahi, didasari keinginan kedua negara untuk mencegah aksi-aksi nelayan tidak berhukum serta untuk meperbaiki tatanan hubungan bilateral kedua negara, selain daripada untuk mencegah kerugian negara. Indonesia saja telah mengalami kerugian hingga sebesar Rp 30 triliun selama 10 tahun terakhir akibat penangkapan dan pencurian ikan ilegal di seluruh wilayahnya [1]. Banyaknya kasus penangkapan ikan ilegal yang merugikan kedua negara seringkali beralasan karena batas-batas laut negara yang tidak jelas dan kurang dipahami nelayan tradisional, kekurangan mereka dalam hal navigasi, hingga faktor cuaca yang membuat mereka tersasar.

Didasari niat baik kedua negara dalam menyelesaikan masalah ini melalui jalur diplomasi, dibuatlah nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) “Common Guidelines Concerning Treatment of Fishermen by Maritime Law Enforcement Agencies” pada tanggal 27 Januari 2012 di Nusa Dua, Bali [2]. Isinya adalah tentang perjanjian kerjasama antara pemerintah Republik Indonesia dan Kerajaan Malaysia mengenai nelayan-nelayan tradisional yang tersesat di perairan kedua negara, pedoman serta penanganannya yang nantinya dilakukan oleh badan-badan penegak hukum di negara masing-masing.

Inti dari pedoman umum (common guidelines) ini adalah bukan pada kebijakan hukum atau rezim yang akan diberlakukan di wilayah perairan kedua negara, tetapi lebih kepada penanganan dan taktis operasional baru di lapangan atau oleh aparat keamanan laut antara kedua belah pihak sekiranya terjadi kasus lintas batas wilayah laut negara seperti yang sering terjadi sebelumnya [3].

3.2 Konflik Antara Negara Indonesia Dengan Malaysia

Berdasarkan hasil pemetaan (Gambar 4), teridentifikasi beberapa lokasi rawan konflik yaitu diantaranya perairan pedalaman yang belum dibahas dan tergambarkan dalam Kepmentan No. 392 Tahun 1999, daerah perbatasan antar negara yaitu bagian utara propinsi Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Malaysia, daerah ekosistem terumbu karang dengan kedalaman kurang dari 20 meter yang masuk dalam jalur I penangkapan ikan (Ia dan Ib) yaitu di sekitar gugus pulau Karimata dan Jangkat Linge (bagian selatan Propinsi Kalimantan Barat) dan daerah perbatasan langsung antar propinsi yaitu perbatasan dengan propinsi Kalimantan Tengah (Tanjung Nipa).
Selain itu juga, kenyataan di lapangan terjadi overlapping dimana nelayan-nelayan skala besar dengan alat dan mesin yang seharusnya beroperasi di jalur II juga masuk dan beroperasi di Jalur Ia dan jalur Ib yang sangat merugikan nelayan kecil.
Peta alternatif ini telah mempertimbangkan parameter jarak dan kedalaman (isobath) disertai dengan beberapa asumsi dan pembatasan. Adapun asumsiasumsi yang  digunakan antara lain yaitu :
1.    Jalur I dengan jarak maksimal 4 mil laut diukur dari garis pangkal kewenangan propinsi.
2.    Jalur II dengan jarak maksimal 12 mil laut diukur dari batas jalur I (4 mil laut).
3.    Jika dalam jalur I terdapat daerah dengan kedalaman kurang dari atau sama dengan 20 meter dan daerah tersebut berada di jalur II, maka daerah tersebut masuk dalam jalur I.
4.  Jika dalam jalur II terdapat daerah dengan kedalaman 20 meter dan atau sampai di luar jalur 20 meter ke arah luar, maka akan menjadi daerah atau zona konservasi dengan tanda bendera warna merah di lapangan.
5. Jalur III diukur dari batas terluar jalur II sampai ZEEI dan tidak melampaui jalur II batasan kewenangan Propinsi lain.
6. Daerah di dalam garis pangkal kewenangan propinsi disebut sebagai perairan pedalaman dan masuk dalam kategori jalur I.
Dengan disepakatinya nota kesepahaman antara Indonesia dan Malaysia ini menunjukkan adanya kemauan niat baik kedua negara dalam bekerjasama untuk melindungi dan menghormati nelayan tradisional, dan juga niat baik untuk bekerjasama menyelesaikan suatu permasalahan bilateral dengan jalan diplomasi dan bukan melalui konflik. Kerjasama mutualisme ini diharapkan untuk terus dievaluasi dan ditingkatkan lagi kedepannya, serta dapat ditularkan kepada bidang-bidang lainnya sehingga kedua negara terus dapat menjalin kerjasama bilateral yang positif di regionalnya.


BAB IV
KESIMPULAN
Negara Indonesia  adalah negara maritim kepulauan yang memiliki potensi sumber daya kelautan melimpah sekaligus menggiurkan bagi bangsa Indonesia sendiri, maupun bagi negara-negara tetangganya.
Jalur Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) terdiri dari:
·  Jalur penangkapan ikan I.
·  Jalur penangkapan ikan II.
·  Jalur penangkapan ikan III.


DAFTAR PUSTAKA
Monintja D dan Yusfiandayani R. 2009. Pemanfaatan Sumberdya Pesisir Dalam
Bidang Perikanan Tangkap. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wlayah Pesisir Terpadu. Institur Pertanian Bogor. Bagor.
Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. PT. Gramedia, Jakarta.
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 Tentang ZEE Indonesia.
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber daya alam hayati di ZEE Indonesia.
Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982.
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERAN DISTRIK NAVIGASI DALAM KESELAMATAN PELAYARAN

A.   PENDAHULUAN Indonesia adalah negara maritim terbesar di dunia, yang memiliki 17.504 pulau yang membentang dari Sabang sampai Meraoke...